Martabak Manis or Telor?

39 3 0
                                    

Malam sudah menyapa dengan benda yang berdetak menunjuk pada angka 7. Kaca mengacak rambutnya kasar, sehingga menjadi begitu berantakan dan juga kusut. Dirinya benar-benar merasa jenuh saat belajar, dan merasa sedikit frustasi saat melihat deretan angka yang begitu memuakkan.

"Padahal itu hanya sebuah angka, lalu mengapa aku harus bersusah payah menghitungmu? Mengapa aku harus bersusah payah mempertemukan hasil x dan y, padahal jelas-jelas kalian itu sebuah huruf yang hanya di kasih angka di depannya, huh!" celoteh Kaca pada sebuah soal, tentang linear dua variabel yang kini dicobanya untuk mengerjakan, agar nanti remedial dia tak lagi mendapatkan nilai jelek.

Cukup lama perempuan itu berkutat dengan buku pelajaran, bahkan tadinya lima lembar kertas HVS yang bersih tanpa noda itu, kini penuh dengan coretan angka yang sebenarnya tak menemukan hasil.

Suara dari pintu kamar terdengar terbuka, menampakkan seorang Langit yang  berdiri di ambang pintu kamar sembari menatap pada sang adik yang terlihat frustasi. Dirinya tertawa kecil mendapati rambut Kaca yang begitu berantakan, hingga kakinya berjalan mendekat pada Kaca dan merapikan rambut sang adik dengan jemarinya.

"Menyelesaikan soal itu harus perlahan dan mengikuti jalan kerja agar menemukan hasil. Jangan grasah-grusuh begitu, apalagi kalau asal hitung."

"Iya Abang, iya ... Kaca itu sudah menghitung sesuai prosedur jalan kerjanya. Tapi_" Kaca menghirup oksigen lebih dalam, lalu menghembuskannya secara gusar sebelum melanjutkan ucapannya. "Huh, Kaca masih saja tidak menemukan jawabannya."

"Haha, ya sudah Dek, nanti Abang ajari. Tapi sekarang mau ikut beli martabak gak? Sekalian menenangkan otakmu yang Abang lihat sudah mengeluarkan asap."

Langit terkekeh dengan kedua tangannya mengusap kepala sang adik, di mana rambut Kaca yang tadinya berantakan, kini menjadi rapi. Kaca mengangguk antusias, wajahnya yang tadinya muram seketika berubah menjadi ceria.

Kaca menutup satu persatu buku yang dipelajarinya tadi, melipat rapi kertas HVS itu menjadi persegi kecil, lalu menaruhnya di antara halaman buku. Perempuan itu beranjak dari kursinya dan mengambil sebuah hoodie yang menggantung di rak pakaian.

"Ayo berangkat," ucapnya senang lalu menggandeng tangan Langit keluar dari kamarnya.

Mata Kaca mendapati sang bunda dan ayahnya yang tengah duduk di kursi sembari menonton televisi. Kakak beradik itu menghampiri kedua orang tuanya, dengan Kaca yang langsung menyeruput jus buah naga milik bundanya di atas meja.

"Jadi Bang, beli martabaknya?" tanya Dini menatap pada dua anaknya yang kini tengah berdiri sambil bergantian meminum jus miliknya sampai tersisa seperempat.

Langit meneguk jus yang berwarna merah kental itu sebelum menjawab pertanyaan sang Bunda. Tapi saat Langit ingin menjawab, Kaca tiba-tiba menyahut lebih dulu daripada sang kakak. "Jadi Bun, ini mau berangkat."

"Ayah martabak manis rasa kacang ya ... Versi mini," ucap Bara sembari memberikan uang berwarna merah dengan 6 digit angka 0 di belakang 1.

"Kalau Bunda?" tanya Kaca sembari menatap pada perempuan paruh baya yang sedang memakan kue kering.

"Terserah saja, Bunda ngikut kalian," sahut Dini yang kini menatap pada jusnya yang hanya tersisa sedikit. Dini menggeleng heran pada dua kakak beradik yang menganggukkan kepalanya, lalu berpamitan pada dirinya dan Bara.

Kaca dan sang kakak pun berjalan menuju  garasi, mereka bingung mau menaiki apa untuk beli martabak yang letaknya lumayan jauh dari rumah mereka. Mobil Bara sebenarnya masih berada di luar, tetapi mereka lebih memilih untuk menaiki yang lain. Bukan karena Langit yang tak bisa mengendarai mobil, tapi rasanya mereka terlalu berlebihan jika menaiki mobil hanya untuk membeli martabak.

Achromatopsia, Kayu dan Kaca \\ LEE JENO \\ END✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang