Stupid Grill

13 3 0
                                    

Angin berembus pelan, seakan beralun menenangkan. Tapi bukannya menemukan ketenangan, perempuan itu malah menemukan rasa sakit saat teringat ucapan yang terlontar dari mulut Kayu. Hatinya benar-benar terasa sesak sampai dia duduk terisak di bawah pohon besar setelah pulang sekolah.

Entah apa yang membuatnya duduk tenang di bawah pohon yang sering kali Kayu berdiam diri di sana. Kaca tak ingin pulang, meski Langit berulang kali menelepon dirinya untuk menjemput. Dia tak ingin menemui sang kakak dalam keadaan seperti ini.

Mungkin tadi saat di depan Kayu dirinya masih biasa saja dan tak menampakkan raut sedih, meskipun matanya tak bisa berbohong dan sedikit berkaca-kaca. Di kelas ataupun di hadapan Anggi, dirinya juga berusaha sekuat mungkin untuk tak menangis. Tetapi saat pulang sekolah, air mata itu sudah tak terbendung lagi ketika dirinya sudah sampai di sebuah pohon yang bisa membuatnya meluapkan segalanya.

Tangannya berulang kali menepuk dada mengurangi rasa sakit, menghirup nafas dalam-dalam agar tak turun air mata. Tapi nihil, apa pun yang dilakukannya tetap saja air mata itu turun tak terbendung. Hatinya sakit tak sekira.

"Tuhan, mengapa menyukai seseorang itu harus sesakit ini? Seterbiasa apa pun aku dengan itu, mengapa tetap saja menyakitkan. Apa aku harus menyerah saja? Tapi aku benar-benar tak bisa melupakannya begitu saja Tuhan ...," gumam perempuan itu sembari meringkuk memeluk lutut dan menenggelamkan wajahnya di sela lutut.

Cukup lama dirinya berdiam diri di bawah pohon itu, sampai langit senja pun mulai menyapa. Matanya sembab, tetapi dirinya masih tak ingin beranjak.

Telinganya mendengar ada suara seseorang yang berjalan mendekat secara perlahan, tetapi dirinya hanya berdiam diri dan berusaha untuk tidak takut, hingga sebuah tangan mengelus kepalanya perlahan.

"Sayangnya Abang, ngapain duduk di sini sendirian, hem?" ucap laki-laki yang kini berjongkok di hadapan kaca yang sedang meringkuk itu.

Dia menghela nafas lega saat menemukan sang adik yang berdiam diri di bawah pohon, dia takut terjadi sesuatu pada Kaca seperti kejadian kemarin. Langit menunggunya pulang di depan sekolah, tetapi perempuan satu itu tak kunjung keluar dan menghampirinya. Di telepon juga tak di angkat, bertanya pada Anggi pun, kata perempuan itu Kaca sudah keluar lebih dulu. Hingga langit dengan cepat mencari Kaca di lingkungan sekolah, dan akhirnya menemukannya di bawah pohon besar yang terletak di taman sekolah.

Kaca mendongak menatap laki-laki yang tak ingin di temuinya sekarang. Dia menarik sudut bibir membentuk lengkungan dengan tatapan lembutnya pada sang kakak.

"Adeknya Abang kenapa? Kaca nangis di sini? Siapa yang nyakitin kamu? Apa ada yang lukain kamu, di bully? Atau apa Kaca?" tanya Langit beruntun. Meskipun sang adik tengah tersenyum, dirinya tahu persis jika perempuan satu itu habis menangis.

"Ish, Adek gak kenapa-kenapa kok Bang. Ayo pulang ...," ucap Kaca sambil beranjak dari duduknya.

Langit tiba-tiba saja memeluk tubuh mungil yang berada di depannya, dengan tangannya yang mengelus pelan rambut memberi ketenangan.

"Kaca, kalau ada masalah cerita sama Abang ... Kalau kamu ada yang nyakitin, bilang sama Abang. Nanti Bang Langit patahkan tangannya!"

"Abang ish, gak boleh gitu ... Kaca baik-baik saja kok. Jadi ayo pulang ...."

"Hemm baiklah, kali ini Abang bakalan percaya. Tapi awas saja jika Abang tahu kalau kamu ada yang nyakitin!" ancam Langit sambil melepaskan pelukannya pada sang Adik, sedang perempuan itu mengangguk mengerti. Dia tidak mungkin memberi tahu bahwa dirinya menangis karena tertolak oleh Kayu. Yang ada bukanya di kasihani, dirinya malah di ejek habis-habisan oleh sang kakak.

Langit berjalan lebih dulu dari pada Kaca, tetapi perempuan itu hanya berdiam diri dan tak bergerak sedikit pun dari tempat tadi, hingga Langit membalikkan badannya dan menyuruh Kaca untuk cepat menyusulnya karena langit mulai menggelap.

"Ayo," panggil Langit pada Kaca, tapi perempuan itu menggeleng seakan tak ingin beranjak. Padahal dirinya sendiri tadi yang mengajak Langit untuk pulang.

Lelaki itu berjalan menghampiri sang adik dengan senyum manisnya. "Ayo naik," ucap Langit sembari berjongkok di depan Kaca.

Kaca terkekeh kecil dan segera naik dalam gendongan sang kakak. Lelaki satu itu benar-benar peka jika sang adik tak ingin bergerak, maka artinya dia ingin di gendong.

Dua kakak beradik itu berjalan santai menuju ke motor yang di parkir kan depan sekolah. Tangannya mengalung di leher sang kakak agar tidak terjatuh, dan sesekali bersenandung kecil memecah keheningan.

"Bang," panggil Kaca pada sang kakak.

"Adek ringan kan?" lanjutnya sambil terkekeh, karena Kaca rasa sang kakak sedikit keberatan.

"Ringan? Yang berat kek gajah gini, dibilang ringan?" canda Langit sambil mengulum senyumnya, hingga sontak membuat perempuan itu mempererat pegangannya di leher Langit

Langit yang merasa sedikit tercekik itu pun, dengan cepat menepuk pelan tangan sang adik dengan tangan kirinya. "Ehh enggak-enggak, bercanda doang Abang mah ...."

"Lagian Abang mah, ada-ada saja. Tubuh mungil nan ringan seperti kapas begini, dibilang berat kek gajah? huh menyebalkan!" Kesal Kaca pada sang Kakak.

"Iya iya, adek ringan kok, paling beratnya kek ngangkat sekarung beras."

🤍🤍🤍

Kaca menghempaskan tubuhnya gusar di atas kasur, mengambil bantal dan menutup penuh wajahnya dengan benda itu. Dia benar-benar frustasi sekarang, karena perempuan itu ingin menulis surat untuk lelaki yang membuatnya patah, tetapi hubungan mereka menjadi jauh lebih buruk.

Namun tiba-tiba saja Kaca membuang semua masalah di otaknya, dan menganggap yang terjadi hari ini hannyalah mimpi buruk agar dia bisa kembali berjuang mendapatkan Kayu.

Kaca bangkit dari tempat tidurnya lalu duduk di meja belajar dengan lampu kecil yang sudah menyala. Jepitan rambut yang menjepit di sela buku, diambilnya dan dipasang di kepalanya agar rambut tertata rapi.

Sebuah kertas putih dan juga pulpen hitam sudah berada di atas meja dengan rapi, hingga kini dirinya sudah siap untuk menulis surat buat lelaki yang memberi luka.

~Dear Kayu.

Teruntuk lelaki monokrom yang menorehkan luka. Ahh, tidak, tidak ... Kamu tidak pernah menorehkan luka padaku, hanya aku yang bodoh, karena merasa terluka sendiri dalam menyukaimu.

Aku memang tidak tahu apa pun tentang Kayu, yang aku tahu Kayu itu lelaki memukau dengan banyak prestasi yang suka sekali guru bandingkan denganku. Kayu tahu? Kadang saat aku remedial, guru bilang padaku "Coba kamu contoh Kayu murid sebelah, rajin-rajin baca buku, bukan menggambar. Atau tidak, coba kamu minta ajarin sama dia, siapa tahu ketularan pintar." gitu kata guru-guru. Emm padahal aku sudah rajin belajar, hanya saja otakku yang tidak bisa diajak kompromi. Benar kata Kayu kemarin, aku itu perempuan bodoh, makanya aku masih menyukai Kayu meski berulang kali sakit hati, haha.

Oh iya, katanya waktu dapat menumbuhkan perasaan bukan? Jadi aku akan menunggu sampai waktu itu terjadi. Sampai di mana Kayu bisa membuka hati untukku dan tak lagi membenciku.

Ahh aku lupa, semoga saja sampai saat itu aku masih bisa menghirup oksigen yang sama denganmu ya ... Semoga juga aku enggak minggat ke hutan rimba, haha.

Eh, gak deng, canda doang aku mah. Ily.~

Begitulah isi dari surat yang Kaca tulis kali ini, lihatlah dia menulis seakan-akan baik-baik saja perihal tadi siang. Padahal dirinya berulang kali menguatkan diri agar tak merasa sakit.

Achromatopsia, Kayu dan Kaca \\ LEE JENO \\ END✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang