Satu Hari Tanpa Kaca

12 3 0
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul 07.00am, di mana Kayu tengah duduk di bawah pohon besar sembari menunggu  seorang perempuan yang katanya ingin minta di ajarkan masalah limit. Lelaki itu datang pagi buta ke sekolah hanya untuk duduk dan menunggu sembari mencari-cari cara mudah untuk menjelaskan materi pada Kaca.

Sepuluh menit waktu berlalu, tapi perempuan itu tak juga kunjung datang. Padahal biasanya Kaca tak pernah tidak tepat waktu jika menyangkut perjanjian dengan Kayu, apalagi jika Kaca sendiri yang meminta.

Lelaki itu beranjak dengan nafas gusarnya, saat dirinya berbaik hati untuk menolong, mengapa seorang Kaca tak kunjung datang. Kayu heran, apakah perempuan satu itu terlambat pergi ke sekolah? Tapi dirinya tak ambil pusing dan lebih memilih beranjak untuk pergi ke kelasnya.

Kayu berjalan santai menuju kelasnya, dirinya melewati kelas Kaca yang sudah ramai, tapi saat matanya melirik ke dalam kelas itu, tetap saja sosok Kaca tak dilihatnya.

"Terlambat," cibirnya sedikit pelan, dan melesat begitu saja.

Buku tebal di bukanya, menampakkan deretan kata asing yang membentuk kalimat. Otaknya perlahan mencerna setiap kata yang tertulis di sana sembari mengartikan ke dalam bahasa Indonesia. Senyumnya seketika mengembang tatkala satu kalimat berhasil diterjemahkan.

"Kayu," panggil laki-laki dengan senyumnya yang menawan.

Kayu mendongak menatap ke arah laki-laki itu, dengan tatapan datarnya. Hingga lelaki itu menampakkan deretan giginya dan merasa sedikit tak enak sudah mengganggu Kayu yang tengah belajar.

"Wahh kamu menatapku seakan mau memakan orang," celetuknya sambil terkekeh.

Hanya lelaki satu ini yang berani bercanda seperti itu pada Kayu, karena dirinya adalah seorang murid baru yang tak mengenal jelas sifat Kayu.

"Memangnya ada apa Na?" sahutnya datar.

"Nanti ke kantin bareng yuk ...," ajaknya pada Kayu yang kini menutup bukunya.

Pandangan yang lain sontak menatap pada dua orang dengan atmosfer yang berbeda.

"Tidak Na," tolak Kayu.

Lelaki itu mendengus dengan ekspresi cemberutnya, lalu beberapa detik kemudian, senyumnya mengembang dan duduk di depan Kayu.

"Kalau begitu, aku akan ikut kamu ke pohon besar di taman sekolah. Mereka bilang di sana kan, persembunyian dirimu? Haha ... Aku penasaran, sekalian juga ajak aku jalan-jalan melihat lingkungan sekolah, hehe," sahutnya sebelum beranjak pergi menuju kursinya.

Kayu menggeleng heran pada laki-laki satu itu, bagaimana bisa di kelasnya ada murid baru modelan seperti itu. Sudah cukup hari-harinya lelah karena perempuan berisik di kelas sebelah, dan sekarang hari-harinya akan lebih melelahkan karena murid baru yang tampaknya juga akan berisik.

Waktu istirahat tiba, Kayu beranjak dari kursinya menuju tempat ternyaman untuknya menyendiri. Tetapi seorang laki-laki dengan senyumnya yang mengembang itu tengah mengekor di belakang sambil melihat-lihat sekitar. Kayu tiba-tiba berhenti berjalan hingga seorang Nazca tertabrak punggung seorang Kayu.

"Kok tiba-tiba berhenti sih? Kan jadi ketabrak," ucapnya yang tak dihiraukan oleh Kayu.

Lelaki itu mengabaikan seorang Nazca yang berbicara. Matanya melirik sebentar ke dalam kelas Kaca, tapi nihil, tidak didapatinya sosok Kaca di dalam kelas itu. Bahkan seorang Anggi juga duduk sendirian, tidak bersama Kaca.

"Libur toh rupanya," ucapnya pelan.

Setelah selesai mencari sosok Kaca yang tidak ditemuinya, Kayu pun menatap pada Nazca sedikit tajam.

"Eh, kenapa memandangku seperti itu?" Kaget Nazca saat melihat Kayu yang memandangnya dengan tatapan seperti itu.

"Kamu mengikutiku kan?"

"Iya," jawab Nazca enteng, sembari tersenyum. Setelah mendengar jawaban dari Nazca, Kayu pun hanya menggeleng aneh dan melesat pergi. Membiarkan seorang Nazca mengikutinya.

Angin berembus pelan dengan suara Nazca yang bersenandung di samping Kayu. Lelaki itu duduk di samping Kayu dengan menatap pemandangan yang sangat indah dilihatnya. Sedang Kayu? Dirinya lagi-lagi hanya membaca buku.

"Aku lihat kau selalu membaca buku, apa tidak bosan?" tanya Nazca yang di jawab gelengan oleh Kayu.

"Apa matamu tidak minus?"

"Apa membaca buku seasik itu?"

"Apa kau suka genre fantasi?"

"Apa kau pernah membaca cerita Hulubalang?"

"Apa_" ucapan Nazca menggantung karena Kayu tiba-tiba menatapnya dengan tajam lagi.

"Apa kau bisa diam?" Kayu lelah mendengar lelaki di sampingnya ini berbicara, bahkan semakin mengaur tak jelas.

"Cih, pantas saja cecak itu bilang manusia satu ini kulkas," gumam Nazca pelan, dan itu sontak membuat Kayu lagi-lagi menatap pada dirinya, padahal tadi sempat lelaki itu mengalihkan pandangannya ke sebuah benda yang amat di sukanya.

"Apa yang kamu ucapkan tadi?"

"Tidak apa, aku hanya bergumam perihal cecak peliharaanku di rumah, haha."

🤍🤍🤍

Langit sore menyapa dengan cahaya yang bercampur sedikit warna jingga. Kayu pulang mengendarai motornya melewati sebuah halte bus yang sering kali dilihatnya ada seorang perempuan yang selalu saja melambaikan tangan padanya.

Padahal baru satu hari seorang kaca tidak pergi ke sekolah, tapi mengapa rasanya sekolah terasa sepi tanpa dirinya? Kayu menghela nafas panjang, bagaimana bisa dirinya memikirkan perempuan itu.

"Bibi ...," Panggil Kayu pada perempuan tua yang kini sedang mengambil jemuran baju di belakang.

Lagi-lagi pelukannya menghambur pada perempuan yang tak punya ikatan darah padanya. Dia hanya merasa hangat jika berada dekat Perempuan satu ini.

"Aden kebiasaan deh ... Nanti kalau Tuan lihat, Bibi bakalan kena marah."

"Siapa yang bakalan marah? Ayah? Ahh dia tidak akan marah pada bibi." Baru saja Kayu selesai berbicara seperti itu, tiba-tiba saja Areza bercelatuk memanggil nama Kayu.

"Kayu," panggil Areza sedikit nyaring, hingga Kayu membalikkan badannya dan melepaskan pelukannya dari bi Marni.

"Ya, Ayah?" Sudut bibirnya tertarik membentuk lengkungan dengan indah.

"Ikut sebentar," perintahnya sambil berjalan lebih dulu.

Bi Marni menyuruh Kayu dengan cepat mengikuti sang ayah, raut wajahnya selalu saja khawatir saat orang tua dan anaknya itu bersama.

Kayu berjalan mengekor lelaki yang sedikit lebih pendek darinya, sampai di sebuah ruangan yang Kayu kenal adalah kamar kedua orang tuanya.

"Ahh setelah sekian lama, aku baru bisa masuk lagi ke kamar Bunda," batinya bersua. Semenjak kematian sang bunda, Kayu tidak diperbolehkan masuk ke kamar itu sekalipun. Katanya takut jika Kayu akan mengambil barang berharga milik bundanya yang di simpan oleh Areza.

Matanya menatap sekeliling, barang-barang yang masih sama, susunan yang tak berubah, bahkan sebuah foto besar Mala masih saja menggantung dengan indahnya di atas lemari hias.

"Mengapa Ayah membawaku ke kamar kalian?"

"Tidak ada alasan, aku hanya ingin kau melihat segala sesuatu yang berkaitan dengan istriku. Agar kau lebih bersemangat memenangkan warisan itu," sahutnya yang membuat Kayu seketika merubah ekspresinya.

Apa yang dia harapkan dari sosok Areza? meski mulanya ia mengira, jika sang Ayah hanya rindu momen mereka bertiga hingga membawa Kayu kembali lagi ke kamar ini. Tetapi rupanya tebakan Kayu salah, lelaki itu hanya ingin membuat kayu senang, agar dirinya bersemangat untuk mendapatkan warisan sang kakek.

Achromatopsia, Kayu dan Kaca \\ LEE JENO \\ END✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang