"Bunda," panggil Kaca pelan pada perempuan yang tertidur di sampingnya dengan bertumpukan tangan.Kaca baru terbangun dan menyadari jika kamarnya yang berwarna-warni itu berubah menjadi putih-putih tak berwarna. Aroma yang sangat ia benci kembali dihirupnya dengan terpaksa, bahkan tangannya merasakan sesuatu yang mengalir secara perlahan.
"Bun ...," panggilnya lagi dengan nada sedikit nyaring.
Perempuan paruh baya itu terbangun dengan kepalanya yang cepat mendongak menatap pada sang anak. Semalaman dirinya tertidur dengan posisi duduknya dan tak ingin beranjak lama dari samping Kaca, sampai sang mentari mulai menyapa lagi. Dini mengerjapkan matanya beberapa kali mencari kejelasan pada pandangannya, sampai di mana wajah sang anak dapat dilihatnya dengan jelas.
"Ya sayang?" sahut Dini lemah lembut, dirinya mengusap kepala sang anak menghangatkan.
"Kenapa Bunda bawa Kaca ke sini lagi? Kaca kan sudah bilang, jika Kaca tidak mau balik ke sini lagi Bunda ...," protesnya sambil mencari sebuah benda yang berdetak menunjukkan waktu 08.00am, waktu yang ditunjukkan oleh jam dinding yang Kaca lihat di pojok kanan atas samping rak buku.
"Kaca terlambat Bunda, Kaca harus pergi ke sekolah ... Jadi, ayo pulang Bunda ...," pintanya pada sang Bunda dengan raut wajahnya yang takut jika dirinya akan terlambat pergi ke sekolah. Dia me-netralisir ekspresinya dengan sekuat tenaga, agar tak terlihat sedikit pun raut wajah kesakitan yang tampak.
"Tidak bisa sayang ... Kamu harus diam di sini, atau semuanya akan tambah menyakitkan untukmu."
"Lihatlah, Kaca sudah baik-baik saja ... Kaca mau pergi ke sekolah hari ini karena ada ulangan. Nanti kalau Kaca tidak hadir, bakalan ulangan sendirian ... Kaca nanti jadi gak bisa nyontek ntar, Bunda," celetuknya yang membuat Dini merasa heran sekaligus sesak seketika.
"Sayangnya Bunda di sini saja ya ... Kamu harus diam di sini sayang ...," bujuk Dini pada sang anak yang ingin melepaskan sebuah jarum dari tangannya. "Hari ini, hari Minggu. Kamu libur sekolah Kaca ...," sambungnya lagi pada seorang perempuan yang tiba-tiba lupa akan hari.
"Bohong deh, coba cek handphone Bunda. Hari ini hari Sabtu kan? Kaca ada janji sama seseorang, jadi Kaca harus pergi ke sekolah ...."
"Sayang, ini hari Minggu." Dini menunjukkan layar handphone-nya pada Kaca. Perempuan itu sontak terkaget karena dirinya tidak sadarkan diri selama satu hari satu malam.
Kaca menghela napas beratnya. Sudah lama dirinya tak mengalami kejadian seperti ini lagi, setelah terakhir saat kelas 1 SMP. Bahkan kali ini semuanya benar-benar terasa lebih sakit dari sebelumnya.
Perempuan itu menatap pada sang bunda dengan sudut bibirnya yang tertarik tipis. "Tambah parah ya Bunda?" celetuknya yang di angguki oleh Dini dengan berat hati.
"Hahaa, padahal Kaca sudah rajin minum benda pahit itu, masa tambah parah sih? Gak adil ah!" Gumamnya sambil menatap langit-langit yang tak ada sedikit pun warna selain putih.
Sedang Dini berusaha menahan air matanya agar tak terjatuh setelah mendengar ucapan sang anak. Dia mengelus kepala sang anak pelan agar Kaca merasakan ketenangan.
"Bang Langit sama Ayah, mana Bunda?"
"Abang baru saja pergi dari sini, katanya mau ketemu sama temannya. Kalau Ayah ... dia pergi bekerja sayang. Padahal hampir saja tak ingin pergi."
"Hahaa, padahal Kaca sudah terbiasa seperti ini sejak kecil. Mengapa mereka menghawatirkan Kaca sampai segitunya." Tawanya renyah seketika, perempuan itu benar-benar membuat suasana seperti tidak terjadi apa-apa, meski berada di ruangan yang tak di sukainya.
"Kata om Refan Kaca kapan bisa pulang? Kaca sudah tidak apa-apa Bunda ... Kaca ingin pergi ke sekolah besok," ucap Kaca yang di dengar pelan oleh seorang laki-laki yang baru saja memasuki ruangan.
"Besok masih belum bisa pulang Kaca ... Kenapa tidak betah sih, tinggal di sini? kan rame ada kakak-kakak ganteng di sini ...,"
"Nggak ah, masih ganteng Kayu. Mana kamarnya muru banget, putih-putih semua. Kaca gak betah!" protesnya pada laki-laki paruh baya yang menarik senyumnya kecil.
Perempuan satu ini benar-benar tidak berubah sejak ia kecil, dia selalu saja mengeluh perihal kamar yang tak berwarna seperti keinginannya. "Putih itu bersih sayang ... Biar nanti kalau kotor ketahuan."
"Ya,ya,ya. Terus kapan Kaca bisa pulang? Lihat nih, Kaca sudah sehat tahu ... Lihat Bunda, Om, Kaca sudah gak merasakan sakit," ucapnya sambil berdiri di atas kasur rawat, hingga dengan cepat Dini dan Refan menyuruh Kaca untuk kembali duduk tenang karena darah mulai naik dari pergelangan tangannya.
"Kaca, ya ampun sayang ... Ayo duduk lagi, lihat darahmu mulai naik," khawatir Dini.
Mendengar sang bunda yang menyuruh duduk, perempuan itu pun mengikuti perintah sang Bunda sembari menampakkan deretan giginya. "Maafkan Kaca, Bunda."
"Kamu mungkin bisa nipu orang sekitarmu, tapi tidak dengan Om. Jadi, istirahat yang tenang di sini, oke? Om janji kamu akan segera pulang Kaca." Kaca mengangguk pasrah, lelaki satu itu tidak bisa di tipu nya dengan mudah.
🤍🤍🤍
Matanya menerawang menatap langit-langit kamar putih polos. Rasa ingin menggambar di langit-langit itu sangat bergejolak di jiwa Kaca. Andai tempat itu kamar pribadinya, maka sudah dipastikan langit-langit itu penuh dengan lukisannya.
"Bunda." Kaca kembali memanggil sang bunda yang tengah mengupas buah untuknya.
Dini menoleh, tangannya masih sibuk mengupas kulit apel dengan mata yang memandang pada sang anak.
"Abang belum pulang?"
"Belum, sayang ...."
"Ish, apa Abang mampir ke orkes, yang banyak biduan dangdutnya di sana?"
"Ya ampun Dek, mulutnya ...." Dini heran dengan kelakuan anak perempuannya satu ini. Bagaimana bisa dia bilang seperti itu perihal Abangnya, padahal lelaki itu sangat anti dengan genre musik satu itu.
"Hehe, bercanda doang Kaca, Bun ... Abang mah, paling nongkrong sama teman-temannya."
Dini hanya mengangguk menanggapi ucapan sang anak, lalu menyuapkan sepotong apel yang baru di kupasnya, ke dalam mulut Kaca, hingga perempuan itu pun, terdiam tak bersua lagi.
Ini sudah sore menjelang malam dan sang kakak tak juga kunjung datang. Kaca merindukan sosok laki-laki yang memeluknya dengan erat saat dia menjerit kesakitan kemarin malam.
Saat itu, dua orang kakak beradik tengah menonton TV malam hari. Mereka duduk di kursi ruang tamu dengan banyak cemilan di atas meja, dan tak lupa dua cangkir susu cokelat panas. Sesekali mereka tertawa nyaring karena hal lucu yang dilakukan oleh kartun kesayangan yang sering mereka tonton, Kaca sampai tertawa terbahak-bahak karena saking lucunya.
Namun, setelah tawa nyaringnya yang menggema, perempuan itu tiba-tiba terdiam dan memegang erat lengan sang kakak sembari meremasnya. Langit yang merasakan Kaca memegang erat tangannya itu pun, dengan cepat menatap pada Kaca dan melihat ekspresi wajahnya yang tampak kesakitan.
Tangannya memegang dada, sembari meremas bajunya. Sesekali juga, tangannya menepuk-nepuk pelan dadanya agar mengurangi rasa sakit. Tapi nihil, rasa sakit semakin menjadi-jadi hingga mulutnya pun menjerit kesakitan sampai tak sadarkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Achromatopsia, Kayu dan Kaca \\ LEE JENO \\ END✓
Teen FictionKayu, kamu adalah kesederhanaan semesta yang sulit di jelaskan dengan logika ~Kaca Kayu dan Kaca, dua insan yang dipertemukan semesta dengan sifat yang jauh berbeda. Kaca jatuh cinta pada lelaki buta warna yang selalu dituntut sempurna oleh keadaan...