Nano-nano

10 2 0
                                    

"Nina membeli dua pulpen dan tiga buku dengan total seharga Rp 19.000,-. Besok harinya Nina membeli tiga pulpen dan satu buku seharga Rp 11.000,-. Jika Nina ingin membeli tiga pulpen dan dua buku, berapakah total yang harus dia bayar?" ucap kayu membacakan soal dan menulis persamaannya di sebuah kertas HVS.

"Soal ini cukup mudah Kaca ... pertama-tama kamu harus bisa dulu meneliti soal, memilah dan juga membedakan ...." Dia sibuk berbicara tanpa sedikit pun mengalihkan pandangannya dari buku dan beberapa lembar kertas itu.

Sedang Kaca? Alih-alih mendengarkan, perempuan dengan rambut yang tergerai itu sibuk menatap wajah Kayu yang tengah fokus menjelaskan padanya. Matanya benar-benar dimanjakan dengan pemandangan di depan. Hidungnya yang mancung, kulit putih mulus, rambut yang tertata rapi, dan juga matanya yang sangat indah, hingga membuat senyumnya mengembang beriring lelaki itu menyibakkan poninya yang berantakan karena tertiup oleh angin. Kaca benar-benar mengagumi ciptaan Tuhan satu ini, dia berpikir bagaimana bisa ada manusia setampan Kayu di dunia ini.

Kayu yang merasa jika Kaca hanya menatapnya sedari tadi tanpa mendengarkan penjelasannya, membuat Kayu menggelengkan kepalanya dengan napas jengahnya. "Berhenti memandang padaku," celetuknya yang tak di dengar oleh Kaca. Perempuan itu masih saja sibuk memandangi lelaki di depannya.

Jarak mereka begitu dekat, hanya berjarak sekitar 15cm, di mana saat ini mereka tengah duduk di tempat yang Kayu suka— di bawah pohon besar—di taman sekolah.

Kayu menoleh ke arah perempuan di sampingnya, seorang Kaca yang tak mengalihkan sedikit pun pandangannya dari wajah Kayu. Mata mereka spontan bertaut, hingga tiba-tiba Kaca mengerjapkan matanya, terkejut. "Eh, Kayu?"

"Sudah puas memandangiku?" ucap Kayu, yang membuat Kaca sedikit mundur menjaga jarak.

Dirinya tersenyum sambil mengambil kertas yang tadinya ditulis oleh Kayu, sebuah soal tentang pelajaran linear dua variabel. Kaca sok membaca dan memahami dengan jantungnya yang berdetak cepat karena pandangan mereka yang tiba-tiba bertaut, serta jarak mereka yang begitu dekat. Wajahnya memerah bak kepiting rebus, otaknya pun tak bisa berpikir jernih dengan matanya yang pura-pura melihat sebuah tulisan yang amat memusingkan kepala di lebaran kertas putih itu.

"Kau mendengarkan ucapku tadi?"

"Emm, dengar kok. Kata kayu kalau kita mau jawab soal matematika, kita itu harus teliti dulu soalnya, dan ...." kalimat kaca menggantung, dirinya bingung harus melanjutkan kata apa lagi setelahnya.

"Dan ... Dan ... Da_" Kaca benar-benar tidak tahu harus berucap apalagi, hingga tiba-tiba seorang Kayu menyeletuk.

"Dan kau tidak memperhatikannya. Aku tahu itu," sela Kayu, yang membuat Kaca seketika tersenyum malu.

"Maaf, habisnya Kayu ganteng banget. Apalagi saat kena cahaya matahari gini ...." Pujinya yang malah membuat Kayu mendelik tajam padanya. "Iya-iya, aku akan serius belajar, huh!" sambungnya lagi.

"Ingat! Kamu harus meneliti soal itu dulu, bedakan yang mana X, yang mana Y, dan yang mana Z. Kamu juga harus mengerti apa yang ditanyakan oleh soalnya." Kaca mengangguk, memahami setiap kata yang diucapkan oleh Kayu.

"Lalu, bagaimana cara jalan kerja yang mudah? Ajari aku yang simpel, tak perlu yang ribet!"

"Bagaimana kau ingin lekas pintar Kaca? Jika belajar saja mau yang mudah terus," ucap Kayu sedikit menohok pada  perempuan yang tengah mengambil permen karet di sakunya.

Kaca menghela napas gusarnya, lalu tersenyum pada laki-laki di depannya yang sedang menatap dengan tatapan tajamnya. "Iya-iya, aku akan berusaha. Tak perlu memandangku seperti itu Kayu ... Awas ntar jatuh cinta loh."

"Bodoh," ucap Kayu pelan, yang mungkin tak di dengar oleh perempuan yang sedang mencoba mengerjakan soal dengan mulutnya yang asyik mengunyah permen karet dan meniupnya sesekali.

Dua orang yang sangat bertolak belakang itu menghabiskan waktu istirahat mereka dengan belajar. Tidak, lebih tepatnya Kaca yang belajar, dan Kayu yang mengajarinya.

Kaca menghela napas lelahnya, dia tidak habis melakukan aktivitas yang melelahkan, dirinya hanya belajar sedikit dan itu sudah cukup membuatnya lelah.

Memandang langit biru dengan beberapa awan yang berlalu lalang, membuat dirinya seketika tersenyum senang.

"Kayu," panggil perempuan itu, pada laki-laki yang tengah membereskan buku-buku dan menaruhnya di ujung kursi.

Telinganya yang tak mendapati sahutan dari laki-laki itu pun membuat kepalanya menoleh menatap ke arah Kayu. "Kayuandra ...," panggilannya lagi, yang membuat seorang Kayu menatap padanya.

"Apa kau bisa menatap langit yang cerah?" tanyanya dengan rasa sedikit penasaran. Kaca menatap lekat wajah Kayu menanti jawaban.

Kayu menggeleng perlahan, yang membuat Kaca seketika merasa sedih dan tak enak hati. "Aku tidak bisa melihat sesuatu yang menyilaukan mata," ucap Kayu singkat.

"Hemm, bagaimana jika aku ceritakan tentang sekitar, hari ini. Kayu mau mendengarkannya?" Lelaki itu hanya diam menanggapi ucapan Kaca, hingga perempuan itu pun tersenyum dan memulai mendefinisikan hal yang dilihatnya di sekitar.

"Langit hari ini berwarna biru cerah tak ada satu pun yang menghalangi. Pepohonan yang tumbuh subur berwarna hijau dan bunga-bunga yang bermekaran dengan warna merah, kuning, pink, ungu, dan putih di sekitar sekolah. Kau tahu warna cat sekolah kita?" Kayu menggeleng dengan tatapannya yang lurus ke depan.

"Semuanya di cat dengan warna cream dan cokelat tua. Begitu soft dan menyatu dengan alam." Kaca senang, bisa menjelaskan tentang lingkungan sekitar pada laki-laki yang disukainya.

Kayu mencoba membayangkan apa yang diceritakan oleh perempuan di sampingnya, namun sekuat apa pun dia membayangkan warna itu, tetap saja yang dia tahu jika semuanya hanya berwarna hitam, putih, dan abu-abu. Dia penasaran bagaimana indahnya langit yang cerah, tetapi matanya tak sanggup untuk menengok ke atas melawan cahaya.

"Kaca," panggil Kayu tiba-tiba. Ini pertama kalinya lelaki itu memanggil nama Kaca terlebih dahulu.

"Hemm?"

"Tidak apa," sahutnya cepat, hingga Kaca menatap pada Kayu dengan tatapan aneh. Mengapa lelaki itu memanggilnya, namun dengan cepat berucap tidak apa.

"Ada apa Kayu? Apa kau mau menjadi pacarku?" tanya Kaca sedikit bercanda.

"Mengapa di otakmu selalu ada hal yang seperti itu Kaca? Kau tahu kekuranganku, mengapa masih mengejarku?" tanya Kayu sedikit datar.

"Jawabannya singkat, karena aku menyukaimu."

Senyum Kaca mengembang beriring matanya yang kini menatap lekat wajah Kayu. "Kayu, kau tahu? Jatuh cinta sama kamu itu rasanya nano-nano, kadang menyenangkan, membuat sedih, bahkan menyakitkan."

"Lantas?"

"Lantas mengapa aku masih menaruh hati? padahal kutahu kamu itu kemungkinan yang sebenarnya mungkin, tapi terlalu sulit hingga terlihat tidak mungkin." Kaca menjawab dengan sedikit bernada.

"Jika aku memintamu untuk pergi, apa kau bisa Kaca?

"Mengapa kau menanyakan seperti itu? Kau sudah tahu bukan jika jawabannya tentu tidak!" sahutnya dengan nada sedikit tinggi pada kata tidak.

Setelah mendengar jawaban dari mulut Kaca, Kayu seketika menarik senyumnya dan tertawa kecil. "Haha, bodoh. Kamu perempuan bodoh yang kukenal Kaca ...."

"Dan perempuan bodoh itu, adalah satu-satunya orang yang dekat denganmu bukan? Haha."

"Heem, dan jangan pernah pergi untuk itu," pintanya yang membuat Kaca seketika terkaget tidak percaya dengan apa yang di ucapkan oleh Kayu, yang terdengar samar di telinganya.

"Kau berbicara apa barusan Kayu?" pintanya, agar laki-laki itu mengulang kembali ucapannya.

"Tidak ada, aku tidak ada berbicara apa pun." Kayu beranjak dari kursi, mengambil tumpukan buku dan berlari menjauh dari Kaca dengan secepat kilat. Meninggalkan seorang perempuan dengan  hati yang penuh rasa penasaran, karena tidak terlalu jelas mendengar ucapan Kayu tadi.

Kaca pun dengan cepat juga mengejar laki-laki itu, dengan tawanya yang lepas. Hingga dari kejauhan tampak dua orang yang sedang kejar-kejaran menuju kelas mereka yang bersebelahan.

Achromatopsia, Kayu dan Kaca \\ LEE JENO \\ END✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang