Monokrom

17 3 0
                                    

Lelaki dengan perawakan tinggi itu tengah sibuk membereskan buku-buku yang berantakan di atas meja belajarnya. Menyejajarkan buku dari yang besar sampai yang terkecil pada rak tinggi samping meja belajar, bercampur dengan beberapa tumpukan buku yang sudah tampak usang.

Matanya mendapati sebuah album foto yang terselip di antara buku yang mulai usang, hingga dengan cepat  tangannya meraih benda itu dan membukanya secara perlahan. Dirinya banyak mendapati foto masa kecil yang sangatlah menggemaskan, bahkan sering kali bundanya menceritakan sejarah tentang bagaimana bisa foto itu di ambil dan berakhir di album ini.

Deretan foto penuh kenangan di lihatnya dengan seksama, di mana saat itu sang Ayah masih menyayanginya dengan amat. Bahkan senyumnya selalu terukir dengan tingkah lakunya yang begitu manja pada dua orang tuanya.

Kayu merindukan setiap momen di mana dirinya bisa tersenyum lepas tanpa beban sedikit pun. Jauh berbeda dengan kondisinya sekarang, yang begitu sulit untuk menampakkan lengkungan di bibir.

Kayu itu bagaikan sebuah aib dalam keluarga Arezambayang, dirinya dituntut untuk selalu sempurna agar menutupi sebuah aib kecil yang sebenarnya dirinya pun tak ingin mempunyai kelainan itu. Hingga lelaki satu itu selalu berusaha menjadi yang terdepan untuk menutupi kekurangannya, dan harus selalu mendapatkan peringkat pertama serta prestasi dalam berbagai bidang. Kayu benar-benar di tuntut untuk menjadi sempurna agar orang lain tak mengetahui kekurangannya.

Sebuah senyum mengembang beriring ingatan kecil yang terlintas di pikirannya, mengingat sosok perempuan cantik yang selalu memeluknya erat tatkala suara lantang dari seorang Areza menggema menuntutnya sempurna. Dia juga mengingat ucapan sang Bunda yang selalu saja berhasil membuatnya bangkit dan bersemangat lagi saat berulang kali terjatuh dan terpuruk.

"Kayu sayang ... Mungkin warna pelangi sangatlah indah, tapi warna monokrom itu lebih unik. Kamu itu unik sayangnya Bunda ... Kamu sempurna dengan cara kamu." Itulah kalimat singkat yang terlontar dari mulut seorang perempuan cantik yang suka sekali mengelus rambut Kayu.

Brakk! Pintu terbuka menampakkan sosok Areza dengan membawa sebuah buku besar tentang pelajaran bisnis. Buku itu terhempas gusar di atas kasur dengan seprei berwarna putih bersih, dan membuyarkan lamunannya.

"Buku apa itu Ayah?" tanya seorang Kayu sambil mengambil buku tebal yang seperempat terbuka akibat dilempar tadi. Tidak lupa dia memasang senyum manis di hadapan laki-laki yang menatapnya dengan datar.

"Silahkan dilihat dan di pelajari. Ayah ingin kamu dapat memenangkan perusahaan milik kakekmu itu!" ujar Areza ingin menutup pintu kamar kayu lagi, tapi diurungkan karena lelaki paruh baya itu sekarang menatap tajam ke arah Kayu. "Jangan tersenyum seperti itu, aku semakin ingin membunuhmu, karena kamu membunuh istriku, Mala," ujarnya sebelum benar-benar melesat pergi.

Seketika hati Kayu terasa sesak mendengar ucapan yang terlontar dari mulut Areza. Dia berulang kali bilang, jika bukan dia yang membunuh Bunda, melainkan sebuah mobil angkutan yang merenggut nyawa perempuan yang di sayangnya itu.

Malam itu hujan deras, sedang seorang Kayu kecil tengah dimarahi oleh Areza, karena lelaki itu mendengar bahwa seorang teman akrabnya sang anak mengetahui bahwa Kayu adalah anak yang buta warna, dia tidak bisa membedakan warna sedikit pun, hingga nilai menggambarnya selalu saja jelek dan di ejek. Padahal saat itu Kayu sudah berjanji tidak memberitahukan kekurangannya pada siapa pun sejak umurnya 4 tahun. Tetapi entah mengapa Kayu yang berumur 8 tahun, saat dirinya menginjak kelas 2 sekolah dasar itu menceritakan kekurangannya pada teman masa kecilnya. Katanya karena anak kecil itu bertanya padanya dan tak ingin dirinya di ejek lagi oleh teman yang lain, sehingga dia menanyakannya. Hingga malam itu juga anak kecil dengan sebuah buku di tangannya itu di suruh tidur di luar rumah saat hujan lagi deras derasnya. Kejam memang, tapi itu adalah Areza, dia benar-benar membenci putranya sendiri.

Kayu kecil menuruti perintah sang ayah, dia takut jika sang ayah sudah marah, dia takut suara lantang laki-laki itu, melebihi suara Guntur yang menyambar. Hingga dirinya hanya berdiam diri di luar rumah dengan cuaca yang sangat dingin. Mala Benar-benar tak mampu berkutik dan hanya bisa melihat sang anak dari kaca jendela. Dia memohon pada Areza agar Kayu kecil di maafkan, karena saat itu Kayu adalah anak kecil yang begitu polos. Dia benar-benar suka menuruti ucapan orang lain karena terbiasa akan hal itu.

Hingga tiba-tiba saja, Kayu kecil beranjak dari tempat duduknya yang mulanya di kursi teras rumah, lalu berjalan turun dari teras menempuh hujan dan keluar dari pagar rumah. Dia berjalan menuju ke arah jalan raya untuk menghampiri sebuah kucing yang dilihatnya kehujanan. Hingga tiba-tiba brukh! tubuhnya terpental beriring sang bunda yang memeluknya dengan erat. Perempuan itu dengan cepat mengejar sang anak yang mulai beranjak dari tempatnya menuju jalan raya, dan berhasil memeluknya meski benda itu menabraknya dengan begitu keras.

Saat itu juga Kayu kecil dapat melihat dengan jelas darah yang bercucuran di bawah derasnya hujan. Dia duduk sembari menatap pada sang bunda yang kini mengelus kepalanya dengan pelan. Kayu dapat melihat dengan jelas wajah sang bunda yang berlumuran darah itu dengan matanya yang mencoba melihat di sela derasnya hujan yang mengguyur mereka.

"Bunda jangan tinggalkan kayu ...." rintihnya pelan sembari memeluk tubuh lemah yang sudah tak berdaya. Detak jantungnya pun sudah begitu lamban Kayu dengar, beriring  air mata yang kini mengalir dengan perlahan.

"Kayu sayang ... Bunda pamit ya ... Kamu harus jadi anak yang kuat, dan pintar. Tidak apa jika kamu berbeda dari yang lainnya sayang, jangan bersedih dan takut untuk menjalani kehidupan. Sayang ... Ayah tidak pernah benci sama kayu, Ayah sayang kok sama Kayu, dia tidak ingin dunia jahat sama Kayu, makanya dia jahat sama Kayu. Ayah pernah bilang sama Bunda, cukup dia saja yang jahat sama Kayu, dunia jangan," ujar Mala dengan senyumnya yang mengembang, sebelum dirinya tertidur untuk selamanya.

Kayu tersenyum miris mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Mala, bagaimana bisa lelaki itu berucap seperti itu? Sedang lelaki itu tak pernah sayang sedikit pun padanya. Bagaimana bisa semua omongan bunda saat itu hannyalah omong kosong belaka, yang di percayanya sampai beranjak remaja?

Semuanya masih begitu jelas dalam memori ingatan Kayu, lelaki itu mempunyai ingatan yang kuat dan kepintaran yang di atas rata-rata. Mungkin dia tak bisa membedakan warna, namun dia pasti mengetahui segala sesuatu tentang warna. Dia selalu mengukur warna dari bentuk benda yang selalu dibacanya dalam sebuah buku.

Kayu merebahkan badannya gusar, menatap langit-langit kamar yang berwarna hitam dengan cahaya redup di tengah-tengahnya. Dia membayangkan jika suatu saat dapat melihat warna pelangi dan indahnya langit senja yang di sukai oleh seorang gadis yang selalu saja mengejarnya. Bagaimana perempuan satu itu selalu bilang padanya tentang indahnya senja, indahnya langit biru, dan juga warna pelangi di langit setelah selesai hujan. Dalam benaknya apakah semua itu benar-benar seindah yang Kaca ucapkan?

Apakah mungkin, suatu saat dirinya bisa melihat hal indah itu? Lalu, apakah mungkin, jika dirinya bisa melihat dengan normal, Areza dapat menyayanginya lagi?

Kayu tersenyum miris, semua itu hannyalah angannya belaka, sampai kapan pun dunianya tetaplah monokrom, tak ada warna ataupun kebahagiaan.

Sebenarnya kehadiran Kaca cukup membuat hari-hari Kayu sedikit lebih berwarna, semula semua yang terasa hampa kini menjadi ramai karena kehadiran perempuan berisik yang selalu datang menghampirinya. Walaupun, kadang Kayu sedikit muak melihat tingkah laku gadis itu yang ada-ada saja kelakuan anehnya.

Achromatopsia, Kayu dan Kaca \\ LEE JENO \\ END✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang