Senyum seorang gadis tidak luntur dari bibir tipis merah nya ini hari pertama nya tinggal sendiri jauh dari Mamah nya yang selalu sibuk dengan kehidupan pernikahan nya yang baru.
"Haah...! Akhirnya gue bisa hidup bebas juga." Ujar gadis yang saat ini sedang merebahkan badan nya di atas kasur.
Vanes ikut nimbrung bersama Meta, keduanya menatap langi-langit kamar gadis itu yang bernuansa putih.
"Ta, kalau nantinya lo jatuh cinta, lo mau nya sama cowok yang gimana?" Tanya Vanes dengan mata yang memejam.
Meta menoleh kearah sahabatnya lalu tiba-tiba saja bayangan wajah Devano terlintas di kepalanya.
Meta terkekeh mengingat nya, "Mungkin yang seperti dia." Jawab nya pelan.
Vanes bangkit dari tidurnya lalu duduk menghadap Meta yang masih terlentang di atas kasur.
"Lo lagi suka sama cowok!?" Tanya nya heboh.
Meta juga ikut bangun lalu bersandar di tepi ranjang, "Gak tau. Intinya kalau gue deket sama dia rasa nya kaku sama gue ngerasa ciut banget kaya gak punya nyali sama dia." Balas nya.
Vanes mendelikkan matanya, "Ya!! Jangan bilang lo suka sama Devano." Tuntut Vanes. Membuat Meta gugup kenapa dengan mudah nya ekspresi wajah Meta bisa di tebak oleh orang lain.
"Segitu gak pinter nya gue nyembunyiin perasaan."
"Wah! Berat kalau lo suka sama dia, dia itu jarang banget senyum, ngomong aja pelit. Belum lagi sikap nya yang galak, lo yakin? " Ujar Vanes.
"Gimana lo bisa deket sama dia." Imbuh Vanes.
"Lagian siapa juga yang mau jadi pacar tuh cowo, gue kan cuma bilang mengagumi."
"Mengagumi sama suka beda tipis Meta, sama hal nya dengan benci, benci itu beda tipis juga sama cinta."
"Tapi gue gak cinta sama Marcel, " Bantah Meta.
"Kenapa jadi Marcel!?"
"Kata lo benci beda tipis sama cinta, gue banci banget sama Marcel berarti gue juga cinta dong sama tuh cowok brengsek."
"Iya juga yah," Balas Vanes sambil menggaruk tengkuk nya yang tak gatal.
Meta menggeleng kan kepala nya heran, baru saja dirinya akan melangkah kedapur ketukan pintu di luar mambuat nya menoleh ini adalah tamu pertama nya selain Vanes.
"Siapa?" Tanya Vanes.
"Gak tau, bukan nya gak ada yang tahu alamat apart ini selain lo yah?"
Vanes mengedikkan bahu nya sebagai jawaban.
Meta melangkah mendekat kerah pintu lalu membuka nya, mata nya melotot kaget karena ada Alex dan Bima yang sedang tersenyum kearah nya lalu menunjukan dua tangan mereka yang di penuhi kantong kresek yang penuh belanjaan.
"Tamu nih, gak di suruh masuk? " Sapa Alex dan Bima dengan senyum yang lebar.
Vanes segera datang mendekat ke arah sahabat nya, dia pun ikut terkejut saat tahu Alex dan Bima ada di depan nya.
"Gak di suruh masuk nih! Berat tau." Ujar Bima, berpura-pura sedih.
"Lo yang kasih tau ke mereka?" Tanya Meta.
"Gak," Jawab Vanes, lalu menoleh kearah Alex yang masih menatap Vanes penuh dengan binar. "kok ayang bisa tahu!?" Tanya Vanes pada Alex.
"Masuk aja dulu." Perintah Meta.
Mereka masuk kedalam apartemen yang cukup luas dan tentunya sangat bersih, Alex mengedarkan pandangan nya lalu mengangguk.
"Udah berapa lama kosong?" Tanya Alex.
"Mungkin, 8 atau 9 tahun." Jawab Meta cuek.
"Marcel tahu tempat lo yang sekarang?" Tanya Bima.
Meta menggeleng sebagai jawaban, "Gak tahu dan jangan sampai tahu."
"Cepat atau lambat dia juga bakalan tahu." Cetus Alex yang saat ini ikut duduk di sofa ruang tamu.
"Kok, ayang yakin gitu?" Tanya Vanes pada Alex.
"Dia itu ahli dalam mengintai, walau tak seahli Devano."
Soal Devano, kenapa cowok itu tidak ikut bersama kedua nya padahal Meta sangat ingin bertemu dengan nya. Ah, sungguh Meta sudah di buat terbuai oleh cowok itu.
"Dev kemana? Kok gak ikut sama kalian?" Tanya Vanes, akhirnya pertanyaan Vanes bisa mewakili sesuatu yang sedang di pikirkan oleh Meta.
"Biasa, ini kan Sabtu pasti cafe nya ramai. Makan nya gak bisa ikut kesini," Balas Alex.
"Ooh,"
Devano memijat pangkal hidung nya banyak beban yang harus dia tanggung. Memang kalau soal rezeki Devano sangat lah beruntung karena terlahir dari keluarga yang sangat berada tapi semua itu tidak mampu membuat nya tenang dan bahagia dia hanya membutuhkan perhatian dari kedua orang tuanya bukan harta yang dia butuhkan.
Mengelola cafe juga sebagai pelarian bagi Devano agar tidak terus memikirkan keberadaan orang tua nya. Devano memang tinggal satu rumah bersama mereka tapi tidak selalu bertemu.
"Bos, ada Nyonyah besar di luar menunggu." Ucap salah satu karyawan nya.
Devano menarik nafasnya dalam lalu membuang nya kasar. "Dateng juga ternyata. "
Devano berjalan mendekat ke arah kursi yang sudah di duduki oleh Ibu nya. Wanita ini semakin berumur semakin cantik mungkin efek perawatan yang dia lakukan atau memang cantik, entahlah Devano pun tidak bisa mendeskripsikan nya.
"Dev? Mamah mau bicara penting sama kamu."
"Ngomong aja Mah." Jawab nya cuek.
"Mamah akan menetap di Belanda bersama Oma kamu, Mamah harap kamu bisa mengerti kondisi Mamah dan Papah saat ini." Ujar nya.
"Kenapa harus Dev yang mengerti kalian!? Apa Mamah pernah mengerti Dev hanya sekali saja. Tidak kan!?" Balas nya dengan nada sedikit meninggi.
"Devano! Kamu sudah besar, seharusnya kamu tahu betul bagaimana hubungan Mamah sama Papah kamu."
"Berantakan. Itu yang Dev tahu." Jawab nya tajam lalu pergi begitu saja meninggalkan Mamah nya yang juga terlihat sedang menahan emosi.
"Dasar anak brandal." Gumam wanita itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BRANDAL IS MY HUSBAND
RomanceHidup tanpa aturan, tawuran, berantem, menikah di usia remaja. Dari semua hal buruk yang dia lakukan justru membuat seseorang yang menatap nya dari jauh semakin mencintainya, tak perduli sedalam apa luka yang dia berikan. "Aku tahu, kamu baik. Hany...