4. Astaga

274 14 4
                                    

"Mau antri lagi?"

Aku langsung menggelengkan kepalaku,
Dengan gerakan yang sangat lesu.

"Tidak. Sudah cukup. Aku lelah."

Sahabatku tertawa.

"Sama. Tapi aku masih kurang beberapa. Kalau tak ditambah dengan segera, nanti aku pasti bisa dihukum oleh mereka."

Aku mengitarkan arah pandangku,
Ingin segera mencari mangsa baru,
Atau kesempatan yang lebih menggebu,
Supaya nasib sahabatku tak jadi pilu.

"Itu. Di sana. Ada satu. Mau coba?"

Kukira,
Jawabannya adalah iya,
Tapi sahabatku justru memberikan gelengan kepala,
Dengan begitu cepatnya.

"Kalau yang itu, tidak mau."

"Kenapa?"

"Karena itu, Biru. Jadi jelas kalau aku tak mau."

"Memang kenapa dengan Biru?"

Aku memicingkan mataku,
Juga memperjelas pendengaranku,
Saat tiba-tiba sahabatku telah mendekatkan dirinya padaku.

"Dia pelit."

Tawaku seketika mengudara.

Astaga.

Kenapa jawaban sahabatku jadi terasa menggelitik sekali dalam pendengaranku.

"Sungguh?"

"Ya. Serius. Bahkan dengan semua demi, aku berani yakin sekali."

Mataku mengikuti Biru,
Yang sampai saat ini selalu berhasil menarik pandanganku.

"Aku cari mangsa baru. Dan semoga saja, mereka tak akan membuat kepalaku semakin ngilu."

Tawaku seketika mengudara,
Dengan begitu bahagia,
Meski sahabatku telah memasang ekspresi kesal yang begitu kentara.

Tapi tak apa.

Aku tahu kalau dia tak akan tega,
Untuk memarahiku yang masih saja terkikik geli karena gemas padanya.

"Kalau begitu, semangat cintaku."

"Ya. Dan jangan sampai berani untuk meninggalkan aku. Tetap di sini, karena aku pasti akan segera kembali."

Setelah melihat anggukan kepalaku,
Sahabatku lekas pergi meninggalkan tempat berdiriku.

Ya,
Semoga sahabatku bisa mendapatkan banyak penyelamat untuk harinya,
Jadi nanti kami berdua bisa pulang dengan hati yang lega,
Sama-sama,
Tanpa harus dipusingkan dengan tugas apalagi hukuman yang pasti akan sangat melelahkan mata.

"Hai."

Aku berjengit,
Tapi untung saja tak sampai mengeluarkan dengusan sengit.

Karena siapa yang mempunyai suara manis ini?

Kenapa bisa berhasil mengejutkan hati lembutku?

Dengan tolehan yang perlahan,
Kini aku justru jadi terpaku dengan debaran yang sangat menyenangkan.

Astaga.

Punya siapa ini?

Kenapa indah sekali?

"Sendiri?"

Tidak.

Aku berdua.

Dengan kamu.

Tentu saja.

Senyumku tertahan di dadaku,
Karena menertawakan tingkah dan gumaman bodohku.

Untung saja,
Itu hanya gerutuan semata.

Kalau sampai kuungkapkan secara nyata,
Kuyakin adanya,
Kalau pasti akan segera ada geger yang sangat mengejutkan jiwa.

"Ya, Kak."

Dia tertawa.

Dan aku jadi tak menyangka,
Karena kenapa sekelilingku jadi terasa diam karena suara merdunya?

Oh tidak.

Jantungku.

Kumohon tetap diam di tempatnya.

Jangan berisik!

Karena aku masih ingin mendengar alunan suara ini merasuk sampai ke dalam hatiku.

Dan ya,
Itu memang luar biasa,
Indah yang sangat menenangkan jiwa.

"Sudah dapat banyak?"

"Ya, Kak. Sudah cukup untuk terbebas dari acara baris-berbaris di tengah terik matahari."

"Benarkah?"

Oh.

Apakah dia sedang meragukanku?

Enak saja.

Biar dia memang indah,
Tapi aku jelas tak akan mau kalah,
Dengan begitu mudah.

"Tentu saja. Aku pantang untuk berdusta."

"Kalau begitu, coba serahkan padaku."

Dengan senyum yang begitu congkak,
Tanganku mulai bergerak.

Dan kini,
Buku tulisku sudah beralih dalam genggaman si pria manis yang berhasil menggetarkan hati.

"Kamu benar."

"Ya. Memang."

Dia kembali tertawa.

Dan aku lekas membulatkan kedua mata,
Saat tiba-tiba,
Dia mengembalikan milikku dengan kedua tangannya,
Juga tambahan coretan baru yang sudah ada di sana.

"Kutambah. Supaya harimu lebih cerah."

Dia pergi,
Dengan senyum secerah mentari,
Juga menyisakan degupan kencang yang sedang bertalu dengan begitu hebat di dalam dadaku saat ini.

Astaga.

Apa ini?

Coretan indah apa ini?

Bagaimana aku bisa mendapatkannya?

Padahal rasanya,
Aku tak berusaha apa-apa.

Astaga.

Sahabatku!

Kamu bohong!

Biru tak pelit,
Justru dia telah sangat berhasil membuat perutku jadi melilit,
Karena tingkahnya yang seperti sedang menggodaku untuk menggigit.

Aku gemas!

Ternyata,
Paraf miliknya juga seindah yang punya.

Kalau begini,
Haruskah kulaminating saja hal ini?

Supaya tanda tangan Biru,
Hanya untuk diriku.

Tak akan kubagi dengan yang lainnya.

Ya,
Harus iya!

Segera.

Secepatnya.

Biru Milikku ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang