Joey's POV
"JOEY! ADAIN PARTY YUK MALMING BESOK!"
Memang tidak ada sopannya, langsung membuka kamarku dan berteriak seperti itu. Siapa lagi kalau bukan Johnny?
"Apa sih ah ganggu aja, gue lagi telfonan sama Trevin!" sahutku ketus, beneran ganggu sekali.
Mendengar perkataanku, bukannya keluar dan menutup pintu, ia malah memasang senyum di wajahnya, "HAI TREVIN, PARTY YUK DI SINI SAMA DERRYL. NTAR GUE AJAK TEMEN-TEMEN LAIN JUGA!"
"Kenapa sih lo? Tiba-tiba pengen ngadain party?"
"Ya emang kenapa sih? Biar ga stress lah, refreshing sekali-kali. YA GA, TREV?"
Dan benar saja, gebetanku ini malah menyetujui ide Johnny yang sangat tiba-tiba itu. Hari Sabtu benar-benar tinggal 3 hari lagi dan kami harus menyiapkan ini-itu untuk menerima tamu di apartment ini, sinting memang sahabatku.
Akhirnya aku menyudahi sambungan telfonku pada Trevin dan menatap Johnny dalam. Tidak biasanya dia ingin mengadakan party di apartment, biasanya dia hanya membeli beberapa botol wine dan meminumnya di sini bersamaku. Aku tahu ada sesuatu yang sedang ia rasakan sekarang, sampai dia memiliki ide aneh ini.
"Kenapa?" Tanyaku sambil berjalan menuju sofa di ruang TV dan Johnny mengikutiku dari belakang.
"Besok pagi gue mau hubungin temen gue untuk jadi MC party kita besok, terus mau bikin beerpong juga. Oh iya! Gue juga mau nge-dj ah udah lama engga soalnya. Terus, yang boleh nginep cuma Trevin sama Derryl, sisanya balik. Lalu gue juga mau–"
"Bukan itu, lo lagi kenapa?" Tanyaku sekali lagi dan aku bisa lihat perubahan wajah Johnny sejenak sebelum ia memasang senyumnya lagi, "Hah? I'm okay kok, kenapa deh?"
Apa dia lupa kalau kita sudah bersama bahkan sejak masih bocah? Jelas aku tahu persis saat-saat ia sedang ada masalah dan sekarang ia coba untuk berbohong, bodoh.
"Ortu lo lagi nih pasti, kenapa?" Aku bisa mendengar helaan napas berat yang keluar dari mulutnya saat mendengar ucapanku.
Johnny mengambil gelas wine dan meneguk isinya. See? Bahkan dia sudah mulai meminum alkohol itu sewaktu aku masih di kamar tadi.
"My dad wants me to quit my job."
"WHAT?" Ya tentu saja aku kaget, ayahnya sudah mengizinkan Johnny untuk akhirnya menjadi penyiar radio dan berkecimpung di dunia entertainment sejak 5 tahun lalu, lalu sekarang apa lagi alasannya.
"Yeah, gue di suruh pindah ke Amerika, lanjutin perusahaan dia yang di sana. Gue gatau harus ngapain, Joey" Ucap dia lirih.
Aku reflek mengusap kasar wajahku, iya sejak dulu aku menganggap bahwa masalah Johnny adalah masalahku juga. Jadi, mendengar kabar ini aku ikut pusing dan sedih.
"Lo tau ga satu-satunya cara? Lo berontak, Johnny, tolak."
"HOW, JOEY, HOW?" Teriak Johnny di depanku dengan wajah dan matanya mulai memerah. "You know I can't express what I want in front of my parents and explain how I'm depressed about it all." Lanjutnya dengan suara yang mulai melemah.
"Keluarin air mata lo, John. Ga usah ditahan."
Lalu runtuhlah pertahanan yang telah ia bangun selama ini, air matanya mengalir tanpa permisi di pipi tirusnya. Tangannya terulur untuk menuangkan wine ke dalam gelasnya yang sudah kosong. Biarkan saja sejenak ia meminum alkohol itu dalam porsi yang banyak dan menumpahkan segala perasaannya melalui air mata yang mengalir.
"I'll talk to them, tomorrow." Aku siap pasang badan untuk sahabatku ini.
"What if they don't want to listen?"
"Johnny, lo bahkan udah melewati umur legal. Lo udah umur segini, lo punya hak untuk menjalankan hidup sesuai sama pilihan lo. Orang tua lo ga bisa seenaknya neken lo terus-terusan dan kontrol hidup lo gini. Lo udah dewasa, John. Udah punya kehidupan sendiri."
"Thanks a lot, Joey." Ujar Johnny sambil menyenderkan kepalanya di bahuku.
"No need, buddy. Kita di sini emang untuk saling menopang satu sama lain kan? We're family, you need to remember that."
–tbc
halloo, boleh bantu comment? biar aku tau tanggapan kalian sama ceritaku sejauh ini hehehe
KAMU SEDANG MEMBACA
The Shadow [jaeyong]
Fanfiction[END] Seorang guru TK yang menjadi fans berat dari salah satu channel radio bernama WaveRadio, mendapatkan kesempatan untuk menelfon penyiarnya saat siaran favoritenya berlangsung. Sejak saat itu ia mulai menunjukkan rasa sukanya secara jelas kepada...