Happy reading^^
•
••
Jangan pernah memandang rendah seseorang karena roda kehidupan pasti berputar, yang di atas bisa jadi nanti di bawah dan begitu pula sebaliknya.
—Hi, Raka•••
"Wajah kamu kenapa memar?"
"Hah? Ini ...." Raka tidak menjawab secara jelas, dia malah mengalihkan topik pembicaraan. Hingga mobil selesai diperbaiki, Raka menunggu mereka di sana, terutama untuk memeluk Ocha.
"Mau kami antar?" tawar Surya ingin mengantar Raka pulang karena hujan belum reda. Raka menggeleng, "rumah saya deket kok, Pa."
"Baiklah, kapan-kapan main lha ke rumah kami," kata Surya melambaikan tangan kemudian mengendarai mobil dengan kecepatan sedang.
Raka tersenyum sembari membalas lambaian tangan itu, keluarga kecil yang bahagia, semoga saja. Tidak lama dia juga pulang, tapi ke rumah kakeknya. Tidak mungkin dia pulang dengan kondisi seperti itu, wajah yang memar, pakaian basah, dan kaki yang bersimbah darah yang ada nanti bunda dan adiknya akan khawatir.
Bagi Raka rumah Hutama—kakeknya, adalah rumah kedamaian. Di mana tidak ada kekerasan ataupun sesuatu hal yang menyakiti dirinya, Hutama sangat menyayangi Raka lebih daripada dia menyayangi anaknya sendiri. Jika Raka mau, dia bisa tinggal di sana dan mendapatkan semua fasilitas mewah yang kakeknya berikan.
"Kakek yuhuu!" Memang dah pada dasarnya petakilan banget nih anak, dia melewati beberapa penjaga ruangan Hutama sebelum masuk ke ruangan besar milik kakeknya.
Dia melihat tubuh renta yang masih berpikir keras, meski usia tak lagi muda. Namun, wibawa dan ketegasan Hutama seakan tidak pernah surut ditelan usia. Hutama menandatangani beberapa kontrak kerja sama dengan sesekali nampak berpikir konsekuensi untuk kedepannya.
"Kek," panggil Raka membuatnya menoleh, dia menutup beberapa berkas dan kini dia beralih menatap cucu kesayangannya. "Pangeran."
Ah, entah mengapa jika di rumah dia dipanggil jagoan oleh bundanya, di sini dia dipanggil pangeran.
"Tumben jam segini belum tidur, punya kesehatan itu dijaga, Kek. Nanti kalau sakit kek mana?" omel Raka duduk di kursi depan kakeknya.
Hutama hanya berdecak, cucunya ini selalu saja bisa membuatnya bahagia. Dia membohongi dirinya sendiri. Raka yang ceria seolah-olah dia adalah anak paling bahagia.
"Kamu?" Hutama membalikkan fakta.
Raka terkekeh, "Biasalah anak muda, begadang. Mumpung jiwa masih muda."
Tuk!
Tongkat yang Hutama pegang mendarat dengan sempurna di kepala Raka pelan.
"Sudah sekarang kamu ke kamar, istirahat. Jangan lupa minta pelayan buat ngobatin lukamu," pinta Hutama sedikit tegas.
"Kakek juga istirahat," ucapnya sebelum meninggalkan ruangan kakeknya. Di sini dia bebas melakukan apapun tanpa kekangan ayahnya karena ada tidaknya Putra di sini tidak berpengaruh bagi Raka, Putra tidak bisa melawan Hutama. Karena pemegang kekuasan tertinggi di rumah ini adalah dia. Jika saja Hutama tahu bagaimana Putra menyakiti Raka, mungkin dipastikan Putra tidak akan hidup hingga saat ini.
"Pangeran!" Suaranya membuat Raka berhenti.
*****
"Ka, ayo, cabut!" ajak Alwi yang sudah siap menenteng tas berwarna hitam, laki-laki pemilik bibir tipis itu menoleh. Belum mengalihkan perhatian dari seorang gadis ceria yang saat ini menata bangku untuk acara sekolah besok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, Raka [END]
Teen FictionKamu melihat jiwanya setenang lilin, tapi sungguh berulang kali dia harus bertahan saat angin mencoba memadamkannya. Ini kisah tentang manusia berhati suci. Namun, terdapat banyak luka di tubuhnya. Dia, Raka. Juga kisah aunty dengan keponakan yang s...