28. Dinner🥑

382 40 32
                                    

Happy reading ><

Dia itu istimewa, kadang memang perlu pemahaman yang istimewa juga.
Bunda Sasa.

•••

"Bagus Bunda restorannya," kata Raka mengedarkan pandang, seumur-umur dia tidak pernah masuk ruangan besar yang kata orang menyajikan banyak makanan. Berbeda dengan Lesya, gadis itu seperti terbiasa dengan tempat ini Lesya terlihat menikmatinya.

"Iya, sebagai hadiah Abang udah mau jagain Lesya tadi," cicit Sasa kemudian duduk di salah satu meja yang sudah dipesan beberapa jam lalu. "Nggak usah hadiah, Bunda. Udah kewajiban seorang abang jagain adiknya."

"Iya udah deh, pokoknya sekarang spesial dinner buat kita bertiga!" seru Sasa seraya memilih makanan di daftar menu, berbeda dengan Raka yang pandangannya masih berkeliling ruangan.

"Bunda! Bunda!"

"Iya, sayang kenapa? Raka nggak suka di sini?" Raka menggeleng, bukan itu maksudnya Raka mendekati bundanya setengah berbisik dia berkata, "Pasti mahal, 'kan Bunda?"

Sasa tertawa kecil, selalu saja seperti itu. Menurut Sasa tidak ada sesuatu yang mahal dibanding kebahagiaan kedua anaknya.

"Sudah, Abang pesan saja mau yang mana nggak usah dipikirin soal harga, ya!" Raka hanya mengangguk, menurut pada Sasa.

Lesya yang asyik menyimak obrolan ibu dan anak laki-lakinya ini terkikik geli. "Abang mah kalau diajak ke restoran mahal pasti yang ditanyain harga, udahlah, Bang harganya masih batas wajar kok, ya kan Bunda?"

Terlihat berbeda sekali bukan kedua anak bunda ini, meski mendapat didikan yang sama.

"Bener," sahut Sasa mengusap lembut rambut Lesya yang dikepang dua.

Malam ini ketiganya kompak mengenakan baju serba hitam, Lesya yang terlihat menggemaskan dengan dress di bawah lutut dengan kain layaknya princess sedangkan Sasa terlihat feminim dengan dress di atas mata kaki dengan ikat pinggang bewarna merah, sedang rambutnya digerai.

"Lebih baik uangnya ditabung atau kalau enggak dibagiin kepada mereka yang lebih membutuhkan, Bunda. Lebih bermanfaat, bukan?" Sepertinya laki-laki yang mengenakan kaos putih dengan kemeja yang kancingnya dilepas itu belum juga setuju dengan restoran pilihan bundanya.

Pelan-pelan Sasa memberi tahu Raka. "Raka lihat itu!"

Pandangan Raka mengikuti telunjuk bundanya, seorang pramusaji yang menyajikan makanan di meja orang lain.

"Orang itu kenapa, Bunda?"

"Dia bekerja di sini, 'kan?" Raka mengangguk dengan cepat. "Kalau restoran sepi apa dia akan tetap mendapatkan bayaran?"

Raka mengerutkan kening, "mungkin saja, Bunda."

Sasa menghela napas, anak sulungnya ini benar-benar istimewa. "Dia juga butuh uang sayang buat makan sehari-hari, buat memenuhi kebutuhannya. Kalau Raka pikir orang yang membutuhkan hanya mereka yang kekurangan atau tidak mampu di jalanan, Raka salah semua orang membutuhkan uang."

"Ada kalanya kita memang harus memberi orang-orang yang tidak mampu, tapi ada kalanya kita juga membeli dagangan seseorang karena kita perlu dagangannya dan pedagang juga perlu uang kita untuk menyambung hidup. Semuanya sudah ada porsinya masing-masing. Raka paham?" Sasa takut Raka salah mengartikan. Namun, melihat Raka yang mangut-mangut sepertinya memang benar Raka sudah paham.

Ketiganya menikmati malam ini dengan penuh canda tawa, seakan masalah di hidup mereka tidak pernah ada.

"Bunda, Lesya udah selesai makan. Lesya ke kamar mandi dulu, ya!" izin Lesya kemudian beranjak.

Hi, Raka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang