Happy reading^^
Jangan menjatuhkan harga diri di depan orang yang bahkan tidak peduli kamu hidup atau mati.
—Bunda Sasa•••
Plak!
Satu tamparan mendarat dengan sempurna di wajah laki-laki pemilik bibir tipis itu. Dengan isak tangis, Sasa mencengkram bahu anak sulungnya.
"Bunda ...." Raka terkejut tindakan bundanya, dia tidak menyangka tangan yang biasanya mengusap halus kepalanya kini begitu keras menamparnya.
"Kenapa? Seperti inikah didikan bunda?" Sasa memperlihatkan foto beberapa menit yang lalu, saat dia memohon ke ayahnya agar mau menjenguk Lesya.
Raka membuang muka, tidak ada jawaban hingga Sasa kembali memegang kedua bahunya kuat-kuat.
"Bunda tahu, Bunda ngerti kamu sayang sama Lesya, kamu nggak tega lihat Lesya seperti itu, tapi sayang ... kamu juga anak bunda! Bunda nggak mau kamu mengorbankan diri untuk Lesya," cetus Sasa melihat wajah Raka yang menunduk dalam, mengisyaratkan sebuah penyesalan.
"Jangan menjatuhkan harga diri di depan orang yang bahkan tidak peduli kamu hidup atau mati." Sasa menghela napas, menatap putranya yang sudah diam tak berkutik. "Bunda tahu kamu sangat menghormati ayahmu, tapi nggak gini caranya sayang."
"Maaf, Bunda." Hanya dua kata yang Raka harap bisa melebur kemarahan bundanya, Sasa pun mengangguk mengusap air matanya sendiri seraya menuntun Raka duduk di kursi tunggu.
"Sakit?" tanya Sasa mengusap pipi yang sedikit memerah, bekas tamparan. Raka menggeleng. "Maaf, bunda nggak bisa ngendaliin kemarahan tadi."
"Nggak papa Bunda, memang Raka yang salah."
"Bunda cuma nggak mau kamu mengorbankan semuanya untuk anak bunda yang lain, kamu juga anak bunda. Bunda pengen banget lihat kamu bahagia," tuturnya membuat Raka mendongak. "Bunda ngomong apa? Kebahagiaan Raka terletak di sini."
Raka mengarahkan tangan Sasa ke jantungnya, agar dapat merasakan detak yang bermakna sangat dalam.
"Raka bahagia bisa hidup di samping Bunda dan Lesya, bukankah Raka hadir untuk kalian?" Sasa terdiam, mengusap lembut kepala Raka. "Bukan itu bahagia yang bunda maksud."
"Tujuan hidup Raka selain kata Bunda untuk beribadah, Raka hanya mau lihat Bunda dan Lesya bahagia," jawab Raka tersenyum, tidak ada rasa sakit hati pun atas tamparan Sasa. Dia tahu dia salah, dia hanya tidak tahu harus dengan cara apa lagi agar Putra mau menjenguk Lesya.
Wajah Sasa tersenyum tidak dengan hatinya yang sangat berantakan, bahkan dia tidak mengingat sejak kapan Raka terluka? Sejak kapan Raka menjadi objek pelampiasan suaminya.
"Raka juga berhak bahagia seperti anak lain, Raka nggak pengen?" Raka menggeleng sembari mencium tangan Sasa. "Kebahagiaan orang itu beda-beda Bunda dan kebahagiaan Raka melihat Bunda dan Lesya bahagia."
Oh, Tuhan lagi-lagi dia dibuat takjub sekaligus hatinya tersayat oleh ucapan anak sulungnya. Mungkin Raka dewasa karena keadaan yang memaksanya untuk selalu tangguh.
"Oh, ya Bunda lupakan saja tadi, ayah udah jenguk Lesya?" Sasa mengangguk, sebenarnya dia kurang setuju Putra datang. Karena setelah dipikir-pikir dia ingin melatih Lesya tanpa ayahnya, agar nanti saat mereka sudah berpisah Lesya terbiasa tanpa kehadiran ayahnya. Namun, apa boleh buat rencana tidak sesuai dengan kenyataannya.
Raka beranjak memilih melihat interaksi antara Lesya dan sang ayah dari jendela kaca, kedua sudut bibir Raka terangkat. Perlahan kesehatan Lesya pasti membaik setelah menemukan obatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, Raka [END]
Genç KurguKamu melihat jiwanya setenang lilin, tapi sungguh berulang kali dia harus bertahan saat angin mencoba memadamkannya. Ini kisah tentang manusia berhati suci. Namun, terdapat banyak luka di tubuhnya. Dia, Raka. Juga kisah aunty dengan keponakan yang s...