Happy reading^^
Titik paling lemah dari seseorang adalah dia yang tetap menyakiti, meski tau lawannya tak bisa melawan atau bertahan.
—Bundaaa•••
"Hufh ...." Lesya meniup rambut depan Raka, mungkin saking gabutnya menunggu abangnya sadarkan diri. Sasa yang tahu hal itu pun mengernyit, "gunanya apa, sayang?"Tawa kecilnya terdengar, setelah mengganti pengharum ruangan wanita itu mengusap lembut kepala Lesya.
"Lesya bosen nungguin Abang?" Lesya menggeleng, tidak sedikit pun rasa bosan atau lelah di pikirannya justru dia merasa senang bisa di samping Raka sepanjang waktu kecuali pas sekolah.
"Abang kapan bangunnya, Bunda?"
Sasa tersenyum lembut, "doakan saja biar Abang cepet bangun."
Lesya mengangguk paham, sudah terhitung tiga hari sejak kejadian itu Raka belum sadarkan diri kondisinya masih sama, tidak ada perubahan. Selama tiga hari itu Sasa yang terus merawat Raka, dia tidak membiarkan pelayan menyentuh keperluan Raka.
"Bunda, Bunda. Kenapa Bunda yang merawat Abang? Bukankah di sini ada banyak pelayan?" Saking ekspresif-nya Lesya hampir jatuh di atas Raka, untung dia bisa menahannya.
"Masak buat anak sendiri harus pelayan juga yang memenuhi? Alasan lain juga bunda nggak mau kehilangan satu momen pun bersama Abang," sahutnya kemudian menyuruh Lesya duduk, tidak seperti tadi berdiri dengan lutut di samping Raka. "Hati-hati."
"Bunda sayang Abang?" Sasa mengiyakan. "Bunda nggak sayang sama Lesya?"
"Heh, kata siapa? Bunda sayang kalian," sahut Sasa tak terima, siapa pula yang mengajari Lesya menanyakan seperti ini.
"Bunda tau, waktu Bunda pergi Abang cerita ke Lesya katanya Lesya anak pungut yang dibawa kucing, pas subuh 'kan biasanya Bunda beri makan kucing liar, nah salah satu kucing liar itu membawa bayi perempuan terus berhubung Lesya mau dimakan bunda yang nyelametin dan diberi nama Lesya," cerita Lesya panjang lebar sembari tertunduk lesu, jika cerita itu benar adanya apa dia harus pergi?
Sasa akui bagus sekali putranya merangkai cerita sedemikian rupa, mana ada kucing mencuri bayi menggemaskan seperti ini.
"Terus kamu percaya?" sahut Sasa terkekeh membuat Lesya mengedikan bahu tak mengerti. "Mau nggak percaya gimana Bunda katanya, yang lahir duluan 'kan dia jadi Lesya harus percaya sama Abang."
"Ada-ada aja tuh anak, udah kamu percaya 'kan sama Bunda?" Lesya mengangguk. "Nggak ada yang namanya anak pungut."
"Lesya anak bunda?" Tatapan yang polos dari Lesya membuat Sasa tergelitik geli. "Emang Lesya nggak mau jadi anak bunda?"
"Ish, bukan begitu Bunda aaaa Bunda nggak peka!" pekiknya sembari memeluk Sasa.
Saat azan magrib, baik Lesya maupun Sasa keluar kamar Raka untuk melaksanakan kewajiban. Tidak ada yang menunggu Raka selain pengawal yang menjaga di depan pintu.
Srek!
Mendengar sesuatu yang aneh, salah satu pengawal membuka pintu ruangan.
"Tuan Putra?"
"Diam! Jangan mendekat atau saya pastikan kepala dan badan Raka bakal terpisah!" ancam Putra sudah berhasil menyelundup masuk ruangan Raka, dia meletakkan golok di leher Raka, laki-laki itu tampak tak bergerak sedikit pun.
"Jangan macam-macam, Tuan."
"Di sini saya atasanmu! Ingat!"
"TUAN!" Keduanya naik pitam kala Putra menggoreskan golok ke leher anaknya sendiri, cairan kental berwarna merah segar bercucuran dari lehernya.
Putra menggeret Raka menuju dekat jendela, goloknya masih tetap di lehernya sebagai ancaman ketika pengawal itu mulai mendekat.
"Jangan macam-macam dengan nyawa pangeran!" Meski terkepung, Putra sama sekali tak gentar karena jika mereka gegabah taruhannya adalah nyawa pangeran mereka.
"Dia anak saya! Bebas dong mau saya apakan!" Putra menyurai rambutnya, merasa bangga berhasil membawa Raka semakin dekat dengan kematiannya. Dia akan melempar tubuh Raka ke luar jendela atau jika terancam dia akan menghabisinya di hadapan mereka.
"Raka!" Suara Sasa memecah konsentrasinya, dia ingin menyelamatkan nyawa anak sulungnya. Namun, Rayn menghentikan.
"Jangan gegabah, Nyonya."
"Rayn, kamu tidak melihat Raka kesakitan, hah?" bentak Sasa dengan tangis hendak melepaskan diri, tapi tangannya ditahan Rayn.
Putra tersenyum bengis. "Lihat, saya akan menghabisi anak kesayanganmu!" Matanya terfokus pada wanita dengan dress bewarna biru muda.
"Ayah, jangan sakiti Abang!" Teriakan Lesya membuat Putra terdiam, Lesya segera memeluk Raka dan menyingkirkan golok dari lehernya Raka.
"Kata Bunda Abang habis jatuh dari motor, Ayah nggak kasihan sama Abang?"
"Bunuh saja Lesya, Ayah. Lesya sayang sama Abang. Abang udah sakit, jangan ditambahi lagi ...," lirihnya memohon di bawah kaki Putra.
Rayn tahu letak kelemahan Putra, dia tidak akan berbuat nekat jika Lesya di hadapannya.
"Kali ini kau berhasil mencuci otak anakku, awas saja lain kali!" seru Putra kemudian kabur melalui jendela.
Mereka membawa Raka ke ranjangnya kembali, Sasa mengobati luka di lehernya Raka.
"B—bunda ...."
"B—bunda ...."
Perlahan kedua kelopak Raka mulai terbuka, dia menoleh ke kanan ke kiri seperti mencari sesuatu.
"Bunda di sini, sayang."
"Bunda jangan p—pergi," katanya masih terbata-bata tidak ingin bundanya pergi lagi.
"Bunda di sini, nggak akan pergi," sahutnya serah menyurai rambut anaknya. "Raka minum?"
Samar-samar Raka menatap sekitar, masih memastikan dia di mana dan dengan siapa dirinya di sini.
"Bunda ...."
"Iya, sayang?" Sasa membantu Raka duduk, kemudian membantunya minum. "Bunda ...."
Sasa membelai pipinya lembut, "kenapa Raka?" Melihat Raka memejamkan mata cukup lama.
Dia tadi melihat Lesya yang tidur di sampingnya.
"Mana yang sakit?"
"Bunda kalau Raka nanti ke neraka, bunda jangan ikut, ya."
Sasa mengerutkan dahi bingung, apa maksudnya. "Ststst, jangan ngomong aneh-aneh dulu, sayang."
"Bunda kenapa tubuh Raka susah buat gerak?"
"Sabar, sayang pelan-pelan," beonya menenangkan Raka, agar cowok itu tidak terlalu cemas. "Nanti merepotkan Bunda."
"Heh, nggak papa bunda malah seneng direpoti Raka." Sasa mengusap air matanya seraya memeluk Raka. "Bunda kenapa Lesya tidur di sini?"
"Dia yang jagain Abang, eum Abang keberatan?" Raka menggeleng, tubuhnya terasa nyeri. Namun, dia tak mau melihat Sasa panik.
"Bunda ayah ...."
"Sudah jangan dipikirkan lagi, mulai hari ini bunda akan memberikan banyak kebahagian untuk Raka," tuturnya meminta Raka berbaring lagi.
"Bunda tau sejak Raka menjadi anak bunda, Raka selalu bahagia punya bunda hebat kayak Bunda."
"Raka kangen Bunda, Bunda ke mana?"
Sasa yang merapikan selimut Raka tersenyum sebelum menjawab alasannya pergi.
.
.
.
.
Gimana perasaanmu kalau jadi Lesya? Penuh kebohongan!Sayang ga nih sama ayahnya bang Raka?
Spill kata semangat agar abang gesrek sembuh :v
Seumpama satu rumah kalian bakal nemenin bang Raka sepanjang waktu ga nih?
Okay see you🖤
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, Raka [END]
Teen FictionKamu melihat jiwanya setenang lilin, tapi sungguh berulang kali dia harus bertahan saat angin mencoba memadamkannya. Ini kisah tentang manusia berhati suci. Namun, terdapat banyak luka di tubuhnya. Dia, Raka. Juga kisah aunty dengan keponakan yang s...