“Jika tidak ada tempat bertumpu, maka kau harus berdiri kokoh dengan kedua kakimu sendiri.”
“Raka bisa ngurus diri Raka sendiri. Pergilah, Bun. Biarkan Raka yang hancur sendiri.”
-Raka SyahputraHappy reading🌿
"Jangan ... jangan ... tolong jangan sakiti dia," ujar Raka masih memejamkan mata, sedangkan mulutnya terus meracau tidak jelas sampai salah satu teman membangunkan dirinya.
"Woy, bangun bangsat!" Cowok mempunyai bola mata hazel itu terus menggoyangkan bahu temannya, rambut sedikit pirang dan hidung kayak perosotan anak TK—mancung.
"Ckckck, ganggu aja lo!" elak Raka mengucek kedua matanya, mengumpulkan nyawa. Kedua temannya tertawa lepas.
"Mimpi dikejar anjing atau babi?!" sahut cowok bertubuh paling pendek di antara mereka, dia melihat benda yang melingkar di tangan kirinya. Sudah jam sembilan malam.
"Bacot!" Raka meraih gitar dan memainkannya sebentar, entah mengapa mimpinya selalu berisi kejadian masa kecilnya. Kenapa kejadian itu menjadi mimpi yang selalu mengusik ketenangannya.
"Berangkat!" Gideon Falandra, cowok itu yang tadi membangunkan Raka. Dia memimpin mereka berdua, terus berjalan menyusuri setiap ruas jalan. Kendaraan masih banyak yang berlalu lalang, sesekali ketiga cowok itu berhenti dan mulai menunjukkan aksinya.
"Jo, lo yang nyanyi dan Raka yang gitar," tutur Deon mengatur mereka seraya membenarkan topi, topi yang ia gunakan untuk meletakkan uang nanti.
"Sama lo lha, anjir. Mau jadi bos lo!" Bejo begitulah panggilannya, padahal nama aslinya Johan Laksmananda. Anak dari keluarga menengah ke bawah, itu sebabnya dia mencari pekerjaan untuk tambahan biaya sekolah salah satunya mereka ngamen di dekat lampu merah.
Berbeda dengan Deon. Anak orang kaya yang nggak ngakuin kalau dia kaya, suka kebebasan dan semaunya sendiri. Deon yang mengusulkan mereka buat ngamen di sini.
Mereka tahu kalau Raka Syahputra juga dari keluarga yang bercukupan, tapi mereka tidak tahu alasan Raka melakukan hal ini ini bagi mereka itu privasy Raka.
Malam ini mereka mendapatkan dua bis, ya seperti itulah pekerjaan mereka. Kalau tidak naik bis, ya di lampu merah hasilnya lumayan apalagi tadi ditambah ngamen di jalanan dan beberapa orang berkumpul untuk menyaksikan mereka.
Menurut mereka yang menyaksikam suara petikan gitar Raka sangatlah khas dan enak didengar, meskipun yang nyanyi suaranya kayak kaleng rombeng.
"Kita bagi tiga kayak biasa." Mereka bertiga duduk 'tak jauh dari jalan raya yang sudah mulai sepi, pantas saja sudah tengah malam rupanya.
"Gue cabut dulu," pamit Raka pada keduanya, mereka mengangguk. Sepertinya mereka juga akan pulang.
Di tengah perjalanan, banyak preman yang ngopi di sebuah warung. Awalnya Raka berjalan biasa saja sebelum menyadari sebagian dari preman itu mengikutinya.
Cowok dengan hodie berwarna hitam, hampir menutupi sebagian wajahnya memilih berhenti sejenak. Seperti biasa Raka juga menggunakan celana levis hitam di bawah lutut.
"Serahin hasil ngamen lo!!" pekik seorang preman akhirnya mengeluarkan suara. Raka tersenyum sumbang, memang siapa mereka berani-beraninya bicara kayak gitu.
"Nggak!" Satu kata penolakan dari Raka, membuat mereka marah.
Bugh!
Bugh!
Bugh!
Baku hantam tidak terelakkan, Raka sendiri melawan enam preman. Berusaha minimal bisa membela dirinya sendiri. Namun, sepertinya keberuntungan belum memihak dirinya apalagi saat beberapa preman itu datang lagi dan lagi menambah jumlah mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, Raka [END]
Teen FictionKamu melihat jiwanya setenang lilin, tapi sungguh berulang kali dia harus bertahan saat angin mencoba memadamkannya. Ini kisah tentang manusia berhati suci. Namun, terdapat banyak luka di tubuhnya. Dia, Raka. Juga kisah aunty dengan keponakan yang s...