13. Raka dan Mereka🥑

518 49 15
                                    

Happy reading

“Seorang perempuan tidak bisa merubah sikap laki-laki sampai laki-laki itu sendiri yang mengubah sikapnya mungkin, alasan utamanya adalah untuk perempuan yang dicintainya.”
—Raka Syahputra

•••

"Pengen ketemu Akak ...," lirih Ocha seraya memainkan boneka teddy bear yang dia bawa.

Kelas berhenti sejenak, mereka melihat interaksi laki-laki yang sudah mereka anggap sebagai guru dengan bocah perempuan yang langsung ke pangkuan Raka. Ada yang aneh dari tubuhnya, Raka menyentuh dahi Ocha dengan punggung tangannya, terasa panas.

"Ocha demam?" Raut wajahnya mendadak khawatir, sedangkan gadis kecil yang berada di pangkuannya ini menggeleng. "Cuma kecapekan, Akak. Akak ndak usah khawatil."

Raka menggeleng, bagaimana bisa Ocha berkata demikian. Dia melirik Virya, perempuan itu malah sibuk bermain ponselnya.

"Akak udah makan?" celetuk Ocha mendongak membuat Raka mengangguk. "Ocha?!"

"Udah, tapi pahit," adunya memutar kedua bola mata malasnya. "Ya, kasih gula dan kopi dong, Cha. Kan jadinya manis."

"Hah?" Ocha nge-lag, dia menepuk jidatnya sendiri, gini banget jadi orang.

"Andai Akak nggak milip papa, mungkin Ocha akan kabul ...," lirihnya tidak terdengar jelas. "Apa, Cha?!"

"Akak baik banget."

Tangan kanannya mengangkat tubuh Ocha, dia menulis barisan angka di papan tulis bekas sedangkan tangan kiri Raka mendekap Ocha, gadis itu perlahan terlelap dalam mimpi. Mungkin sudah waktunya istirahat, ditambah udara malam ini begitu dingin.

"Kalian kerjakan dulu, kakak mau ke depan sebentar!" pintanya dengan senyum manis di bibir, dia sama sekali tidak menurunkan Ocha dari gendongannya meski hanya sebentar. Meski tadi sedikit kesulitan untuk menulis pertambahan di papan, akhirnya selesai juga.

"Ocha kenapa?" tanya Raka langsung to the poin, melihat sosok laki-laki yang menghadapnya Virya mematikan ponsel kemudian meletakkan benda pipih itu ke dalam tas slempang.

Tanpa menatap wajah Raka Virya menjawab, "Kangen lo katanya."

Helaan napas pelan terdengar, Raka sedikit terkekeh ada apa dengan Virya? Perempuan berkuncir kuda yang dia yakini termasuk jajaran perempuan tomboi.

"Lo kenapa?" Raka duduk, mengganti posisi Ocha. Dia menjadikan tangan kirinya sebagai bantal kepalanya, gadis itu nampak nyaman.

"Kenapa jadi gue dah!" sinisnya bersedekap dada. "Mukanya asem kayak mangga yang belum mateng."

"Anjir!" umpat Virya refleks, jika tidak ada Ocha mungkin Virya akan mengomeli Raka.

Mood gadis itu sedikit buruk, dia hendak mengangkat tubuh Ocha dan mengajaknya pulang. Namun, lagi-lagi yang dia dapatkan hanya penolakan.

"Lo kasih pelet apa sih ke ponakan gue? Nempel banget sama lo padahal baru aja kenal," tukasnya seraya memajukan bibir, merasa kesal dengan kelakuan Ocha. Bukannya marah, Raka malah tertawa renyah. Apa katanya tadi 'pelet' ada-ada saja emang gadis ini. "Bayangin jam segini minta ketemu elo, gue hubungi nomer lo nggak aktif. Untung tadi pas di lampu merah Ocha tahu lo."

"Terus?"

Virya berdecak kesal, "ya gue ikutin lha!"

"Dasar penguntit!" cibir Raka tersenyum penuh kemenangan. "Demi Ocha!!"

"Eh, bentar dapet nomer gue dari mana? Oh, jangan-jangan lo suka, ya sama gue terus lo kepoin gue?" duga Raka sembari menyeringai jail.

"Amit-amit gue suka sama lo, daripada suka sama lo mending gue nyium kaos kaki Alwi," ceplos Virya membuat Raka semakin tertawa. "Kalau sampai itu terjadi gue tunggu ucapan lo."

Hi, Raka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang