02. Turnamen🥑

1K 97 6
                                    

Happy reading

•••

Kejadian semalam masih membekas dalam memori Raka, dia merasa semakin hari bukannya hubungan dengan ayahnya semakin membaik malah semakin memburuk. Dari kecil dia sudah mendapatkan perlakuan buruk, tapi seburuk apapun perlakuan itu Raka tidak pernah melawan dengan cara yang sama.

"Anjir telat lagi!" Raka mematikan alarm yang terus berbunyi, sekujur tubuhnya masih merasakan perih dam ngilu secara bersamaan, tapi tetap saja memaksakan untuk turun ranjang. Menyabet handuk dan berjalan ke kamar mandi.

Jam masih menunjukkan pukul 05.00, tapi baginya itu sudah sangat siang. Belum lagi joging ke sekolahan. Selain mendapatkan perlakuan buruk, dia tidak diberi selembar uang entah itu untuk uang saku atau uang transportasi.

Setelah menyelesaikan semuanya, Raka keluar rumah dengan santai. Menggunakan seragam putih abu-abu yang ia tutupi dengan hodie berwarna hitam.

Berangkat jam lima sampai di sekolahan jam tujuh lebih lima menit, siapa lagi kalau bukan Raka. Cowok itu nggak langsung ke sekolah, tapi belok ke mana-mana dulu.

"RAKA SYAHPUTRA!!" teriak seorang guru laki-laki dengan kumis tebal.

Raka menghentikan langkah, seraya membalikkan tubuh. Namun, dia masih diam tidak menyahut.

"Kamu kenapa?" tanya pak Surya melihat kondisi Raka yang begitu memperhatinkan, Raka menggeleng. "Dari awal masuk sampai sekarang kamu nggak pernah jawab kalau ditanya."

Pak Surya guru olahraga yang sering mereka panggil pak Breng, tapi beliau guru favorit Raka. Jika diizinkan dia akan memilih pelajaran olahraga sehari penuh daripada materi di kelas.

"Kamu lupa kalau hari ini ada turnamen? Kalau kondisi kamu kayak gini, pihak sekolah nggak bisa ngirim kamu ke sana," tuturnya pada Raka, cowok itu mencari celah bagaimana pun juga dia harus berangkat lomba hari ini. "Lama-lama saya greget sama kamu, ditanya nggak jawab. Saya harus bagaimana?" Pak Surya sepertinya sudah frustasi.

"Tetep berangkat, Pak." Tiga kata yang keluar dari mulut Raka, pak Surya menganga bagaimana bisa berangkat dengan kondisi seperti itu.

"Nggak bisa, kondisi kamu tidak memungkinkan. Pihak sekolah pasti tidak berani, lukamu juga masih basah. Padahal bapak pengen kamu hari ini yang mewakili sekolah, kamu sudah sangat menguasai jurus-jurusnya." Pak Surya memijit pelipisnya, sungguh beberapa hari yang lalu dia sudah menyiapkan Raka dengan keras, tapi pas hari H nya malah gini.

"Sekalian."

"Sekalian apa? Kalau ngomong yang lengkap Raka Syahputra, untung anaknya pak Putra kalau enggak ...."

"Jangan bawa nama dia, Pak. Saya nggak kenal! Saya mau lomba biar sekalian kalau mati," tutur Raka langsung berjalan ke ruang kepala sekolah, meminta persetujuan.

"Mulutnya, astagfirullah," ujar pak Surya ke kelas dulu dan nanti akan menyusul Raka. Bisa bahaya tuh anak kalau memaksakan ikut.

Setelah berhasil meminta izin ke KEPSEK, Raka langsung meluncur ke area perlombaan. Di sana sudah banyak peserta, baik yang check in sampai ada yang masih latihan.

Raka ditemani pak Surya, bagi Raka pak Surya sudah seperti sahabatnya sendiri. Lagi pula meskipun berkumis tebal, tapi beliau masih sangat muda dan belum berkeluarga.

"Pihak sekolah nggak akan tanggung jawab kalau ada apa-apa."

Kalimat final yang tadi diucapkan kepala sekolah, memang apa yang akan terjadi. Toh, kalau di sini dia mati keluarganya nggak akan ada yang menyesal atau sedih. Bahkan, mereka mungkin bahagia karena anak yang selama ini mereka tidak anggap sudah tidak ada lagi.

Hi, Raka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang