6 : Operasi

2.5K 376 4
                                    

Bima menghentikan motor bebeknya di rumah berpagar hijau. Rumah yang ia tinggali sejak usia lima tahun. Rumah yang memberikan kehangatan bagi Bima.

"Sudah pulang, Nak?" seorang wanita paruh baya muncul dari balik pintu kayu berwarna coklat. Tiara, wanita yang mengadopsi Bima saat belum memakai seragam putih merah.

"Iya, Ma. Baru aja." Bima segera turun dari motor, meletakkan helm di kaca spion, dan menyalimi wanita yang ia panggil mama.

"Temenin Mama belanja dong. Itu pakai mobil Mama aja."

"Oke, siap Ma. Bentar ya, aku ganti baju dulu."

Tiara mengangguk sebagai jawaban.

Sekitar lima menit kemudian, Bima sudah keluar lagi dengan kaus oblong hitam, celana pendek yang juga berwarna hitam.

"Ayo. Kamu yang nyetir ya. Sekalian ngelancarin nyetirnya," titah Tiara.

Bima mengangguk dan mengambil kunci mobil dari tangan Tiara. Kemudian keduanya masuk mobil, dan Bima mulai melajukan mobil itu menuju supermarket.

"Kamu beneran nggak mau kuliah, Bim?" tanya Tiara sambil melihat ke arah Bima yang masih fokus menyetir. Tiara juga ikut fokus pada pergerakan Bima. Putranya yang menginjak usia enam belas tahun itu masih perlu pengawasan saat menyetir.

"Iya, Ma. Aku udah cukup ngerepotin Mama dan Papa sampai aku udah sebesar ini. Sudah saatnya aku mandiri dan cari kerja."

Helaan napas panjang terdengar dari Tiara. "Padahal Mama dan Papa itu maunya kamu kuliah. Makanya kita maksain kamu buat masuk ke SMA Dewantara. Siapa tahu kamu berubah pikiran karena lingkungan di sana pasti siswanya pada mau kuliah. Apalagi ada klub apa itu, yang terkenal bisa masuk kedokteran?"

"Avicenna, Ma."

"Nah iya itu. Mama seneng banget kalau kamu bisa masuk kuliah."

"Bima belum ada minat ke sana, Ma. Aku sih maunya kerja aja, biar bisa balas budi ke Mama dan Papa."

"Balas budi apanya? Kamu itu anak Mama dan Papa. Nggak perlu balas budi."

Bima terdiam mendengar ucapan mamanya. Bagaimanapun, ia tahu diri. Bima bukan anak kandung Tiara, ia tidak ingin semakin menjadi beban ibu angkatnya itu.

"Makasih, karena Bima selalu nurut sama Mama. Bima sudah beri kebahagiaan kecil di pernikahan Mama dan Papa. Kamu tahu kan, kalau Mama itu nggak bisa punya anak? Kehadiran kamu itu sangat berarti, Nak. Nggak perlu balas budi, karena kebahagiaan yang kamu kasih buat Mama sudah cukup."

"Makasih juga ya, Ma. Aku seneng udah dipertemukan dengan Mama dan Papa."

Tiara mengusap lembut lengan Bima. "Iya, sayang."

Setelah beberapa menit, mereka tiba di supermarket. Namun Bima kesulitan mendapat tempat parkir karena sangat penuh. Sampai mereka sudah mengeliling area itu sebanyak dua kali, tetap belum menemukan tempat parkir.

"Kamu parkir di luar aja, Nak. Nanti Mama belanja, kamu tungguin mobilnya. Takutnya disuruh pindahin mobil."

"Aku aja yang belanja. Mama tunggu di mobil," tolak Bima.

"Nggak lah! Kamu aja nggak bisa bedain sayur. Nanti salah beli."

Bima terkekeh dan mengusap tengkuknya. "Ya udah, Bima tungguin di luar. Kalau udah selesai belanjanya, telepon. Biar Bima jemput di depan pintu masuk."

Tiara menganggukkan kepalanya kemudian turun di depan pintu masuk. Sementara Bima ke arah luar supermarket untuk mencari parkir. Karena masih tanggal muda, sulit sekali mencari parkir. Bahkan di luar supermarket juga penuh. Akhirnya Bima memberanikan diri dengan kemampuan menyetir yang masih belum seberapa, ia memarkirkan mobilnya di seberang supermarket.

AVICENNA CLUB ( END ✔️ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang