Embusan napas berat datang dari Venice tepat sebelum gadis itu membuka pintu rumah. Sepanjang perjalanan pulang tadi Ve tidak bisa tenang, terlebih ia tidak membalas pesan dari papanya yang menanyakan hasil peringkat di tes pertama ini. Gadis itu terlalu takut menerima makian dari papanya.
Setelah berusaha menenangkan diri, meskipun tidak menunjukkan hasil, Venice berani membuka pintu rumahnya. Gadis itu seperti dalam mode senyap. Sebisa mungkin ia tidak mengeluarkan suara. Bahkan Ve berjingkat agar tidak mengundang perhatian orang di dalam rumah. Perempuan berlesung pipi itu tidak bisa mengontrol degup jantungnya yang berdetak tidak karuan. Ve hanya berharap ia bisa masuk ke dalam kamar dengan tenang, tanpa harus menemui orang tuanya.
Harapan itu sia-sia. Rupanya Galih dan Diana sudah menunggunya di ruang keluarga. Seharusnya Ve sudah dapat memahami kebiasaan orang tuanya itu setiap ia selesai melakukan ujian.
"Bagaimana tes pertama kamu?" tanya Galih. Sama seperti Venice, pria paruh baya itu tidak suka berbasa-basi.
Venice hanya bisa menunduk takut. "Peringkat empat, Pa," jawabnya.
"EMPAT?!"
Gadis itu tersentak akibat bentakan Galih. Ve merasa tidak perlu mengulangi perkataannya. Papanya dapat mendengar perkataannya dengan jelas, terbukti dari bentakan yang menggaung di telinga perempuan itu.
"Kamu buat Papa kecewa. Kamu sama saja dengan Theo. Tidak berguna. Apa otakmu sama kecilnya dengan anak itu?"
Venice mendengkus. Ia tidak sudi disamakan dengan kakak laki-lakinya itu. Setidaknya Venice sudah berusaha, tidak seperti Theo yang menyerah begitu saja.
"Tapi, Pa. Ini baru tes pertama, aku akan belajar lebih baik lagi," sahut gadis itu.
"Memangnya kamu nggak belajar kemarin? Bagaimana bisa hanya dapat peringkat empat? Padahal kamu sudah Mama kasih les di tempat terbaik."
Tidak cukup Ve mendengar makian dari papanya. Diana, juga tidak bisa menjadi pelindung Venice. Wanita itu ikut memojokkannya. Memang, di rumah itu Venice hanya bisa mengandalkan kemampuan diri sendiri untuk membangun benteng pertahanannya.
"Berapa peringkat Jupiter?" tanya Diana.
"Tiga."
Galih memijit pelipisnya. "Kamu kalah dari anak itu? Anak yang cuma bisa main game? Padahal kamu sudah Papa kasih tempat les yang sama dengan Jupiter. Bagaimana bisa kamu kalah dengan anak itu?"
Tidak puas dengan jawaban Venice, Diana bertanya lagi, "Siapa peringkat satu dan dua?"
"Mama nggak kenal," jawab Ve dengan dingin.
"Jawab yang benar pertanyaan Mama kamu! Apa sulitnya sebutkan nama? Mama kamu cuma mau nama!"
Venice hanya bisa menahan rasa kesal karena bentakan Galih. Bagi perempuan itu, tidak penting nama kedua orang yang menduduki peringkat satu dan dua disebutkan. Toh apa fungsinya bagi Galih dan Diana? Namun Ve tetap menjawab, "Kenta peringkat satu dan Bima peringkat dua."
"Cari tahu di mana mereka les. Kamu akan Papa daftarkan di tempat yang sama dengan mereka."
"Pa!" Venice meninggikan suaranya. "Apa nggak cukup aku les di tempat Jupiter? Waktuku sepulang sekolah hanya untuk les. Aku nggak bisa bebas, Pa. Aku pingin seperti remaja lain, yang bisa bebas."
Kalimat pemberontakan itu tidak membuahkan hasil. Justru membuat Galih semakin geram.
"Kebebasan? Kebebasan apa yang kamu maksud? Tugas kamu itu cuma belajar, belajar, dan belajar! Kamu sudah Papa kasih tempat les yang sama seperti Jupiter saja tidak bisa mendapat peringkat tiga besar! Jangan harap kamu dapat kelonggaran!" amuk Galih.
KAMU SEDANG MEMBACA
AVICENNA CLUB ( END ✔️ )
Teen FictionAvicenna Club, klub elite yang ada di SMA Dewantara. Siapa pun yang masuk ke klub itu, sudah dapat dipastikan akan mendapat tiket masuk ke Fakultas Kedokteran di universitas negeri favorit. Namun sayangnya, setiap tahun Avicenna Club hanya akan meng...