Dengungan dari speaker kelas memenuhi telinga siswa SMA Dewantara. Para siswa yang tadinya fokus menulis kini menajamkan telinganya. Pengumuman ini mengganggu waktu belajar di kelas itu.
"Pengumuman bagi siswa kelas sepuluh, harap tidak langsung pulang karena akan ada pameran klub dan ekstrakurikuler di aula pukul tiga sore nanti."
Bima hanya bisa tersenyum miring, baginya hal semacam itu tidaklah penting. Yang terpenting adalah lulus sekolah. Sementara dari kejauhan, Kenta melirik Bima. Meskipun Bima terlihat bodoh saat tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari guru, Kenta yakin sebenarnya laki-laki jangkung itu hanya berpura-pura.
Siswa lain ikut berkasak-kusuk, terutama di kelas dominasi anak cerdas itu. Hampir seluruhnya berminat dengan Avicenna Club.
"Ve, lo daftar Avicenna Club?"
Venice menertawakan pertanyaan konyol gadis itu.
"Bukannya yang masuk kelas ini pasti daftar ya?" kata Venice dengan acuh, tanpa menatap wajah lawan bicaranya. Fokusnya kasih berpusat pada deretan angka di papan tulis saat ini.
Eireen menggeleng sebagai respons. "Nggak. Nggak semuanya. Ada satu orang yang gue tahu, dia nggak berminat sama klub itu."
"Siapa?" tanyanya masih dengan malas.
"Bima. Lo tahu kan yang duduk paling belakang?"
Venice menghentikan gerakan tangannya yang sedang mencatat. Eireen berhasil mendapatkan atensinya, dengan segera ia menatap gadis ceria itu.
"Kenapa?"
Eireen mengangkat bahunya tanda tidak tahu. Setelah mendapat jawaban dari Eireen, pandangan Venice beralih ke Bima yang duduk di paling belakang. Tidak munafik, Venice cukup senang, salah satu anak jenius di atasnya tidak berminat pada Avicenna Club.
Sialnya bagi Venice, ketika gadis itu menatap Bima, laki-laki itu juga balik menatapnya. Sejujurnya gadis berlesung pipi itu agak malu kedapatan menatap Bima. Namun harga dirinya yang terlalu tinggi tak ingin kalah, ia tidak menghindari tatapan Bima.
Hampir setengah menit saling bertatap mata, justru Bima yang semakin salah tingkah karena ditatap gadis bercepol tinggi itu. Laki-laki itu mengusap tengkuknya dan mengalihkan pandangan, berpura-pura fokus pada papan tulis. Namun melalui ekor matanya, ia tetap melihat Venice yang perlahan mengalihkan pandangan darinya. Detik yang sama, Bima bernapas lega karena terlepas dari tatapan Venice yang mengintimidasi.
~~~
Berbagai deretan pameran klub dan ekatrakurikuler sudah terpajang di aula. Tentu saja Avicenna Club memiliki stand paling berbeda, klub elite itu berukuran dua kali klub lainnya. Dengan deretan foto dengan pigura berwarna emas, masing-masing berukuran 50x75 cm dan diberi sorot lampu mirip seperti pameran foto. Deretan foto itu menampilkan siswa lulusan klub dengan jas almamater universitas negeri favorit, dan tentu saja masuk ke fakultas kedokteran.
Berbeda dengan klub lain, di mana para siswa senior yang mempresentasikan keunggulan klub mereka. Klub Avicenna tidak ada yang menjaga, hanya ada deretan foto itu dan juga tumpukan formulir di sana. Meskipun tidak ada pertunjukan bakat atau presentasi dari senior, stand klub itu tetap paling diminati. Terbukti dari kerumunan siswa kelas sepuluh yang berebut mengambil formulir.
Ve sudah berdiri menjauh dari kerumunan siswa lain. Seperti biasa, gadis itu terlalu malas untuk berdesakan di sana. Alhasil ia meminta Jupiter untuk mengambilkan formulir untuknya.
"Nitip ya, Ju."
Jupiter mangangguk malas. "Dasar! Gue berasa jadi babu lo."
"Kan sekalian sih. Lo ambil juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
AVICENNA CLUB ( END ✔️ )
Teen FictionAvicenna Club, klub elite yang ada di SMA Dewantara. Siapa pun yang masuk ke klub itu, sudah dapat dipastikan akan mendapat tiket masuk ke Fakultas Kedokteran di universitas negeri favorit. Namun sayangnya, setiap tahun Avicenna Club hanya akan meng...