34 : Kakak Kelas

1.5K 308 32
                                    

"Emangnya kenapa, Kak?" tanya Venice. Perempuan itu tidak ingin menelan mentah-mentah perintah Theo, apalagi tanpa alasan yang jelas.

Theo mengembuskan napas panjang. "Awalnya gue juga nggak perhatiin. Tapi pas temen gue cerita, gue jadi tahu. Coba siniin yearbook gue."

Laki-laki berlesung pipi itu meraih yearbook dari tangan Bima. "Coba kalian lihat, foto Banyu sama foto Luna. Apa persamaannya?"

Ketiga siswa berseragam di depan Theo membolak-balik halaman beberapa kali, namun mereka saling berpandangan. Berharap salah satu dari mereka menemukan jawaban.

"Gue nggak nemu apa-apa. Selain fakta mereka adalah anggota klub Avicenna," komentar Venice.

Bima dan Kenta menganggukkan kepala. Mereka juga tidak menemukan persamaan lainnya.

Sementara itu, Theo menatap tiga anak di hadapannya satu per satu. "Nggak ada yang tahu? Serius? Gue sama temen gue yang bego aja paham."

Ketiga orang lainnya mengangkat bahu. Benar-benar tidak tahu.

Kakak laki-laki Venice berdecak. "Emang bener ya IQ sama EQ nggak berbanding lurus?"

"Udah lah, Kak. Pertanyaan lo sekarang nggak penting! Buruan kasih tahu kita, apa yang bisa lo lihat, tapi kita nggak bisa?" Venice melayangkan kalimat protes sambil bersedekap. Gadis itu jengah karena Theo yang tidak to the point.

"Oke. Nggak sabaran banget jadi orang. Nih coba kalian lihat foto mereka lagi. Tapi jangan pakai otak kalian aja, pakai juga perasaan kalian. Lihat emosi yang mereka tunjukin. Jangan IQ aja yang lo banggain, tapi EQ harus lo asah juga. Penting tahu! Untuk sosialisasi dan menumbuhkan empati."

Ketiga siswa berseragam itu mendengar ceramah dari Theo. Meskipun perkataan Theo sedikit pedas, namun mereka bertiga tetap menuruti permintaan laki-laki yang lebih tua tiga tahun itu. Ketiga orang itu kembali membolak-balik halaman.

"Udah ketemu belum persamaannya?"

Ketiga siswa itu mengangguk.

"Sorot matanya, kosong," jawab Kenta.

"Senyumnya, terlihat dipaksakan," sahut Venice.

Bima mengangguk setuju. "Raut wajahnya, nggak ada. Datar. Nggak terbaca. Nggak senang, juga nggak sedih. Tapi juga nggak kelihatan lagi marah. Bener-bener hampa."

Theo mengangkat ibu jari kanannya. "Bagus!"

Ketiga orang yang dipuji ikut tersenyum puas.

"Jadi temen gue bilang, waktu mereka foto, mereka kelihatan kayak orang yang ansos banget. Nggak ngomong kalau nggak ditanya. Jawabnya super duper singkat, kayak iya-nggak aja. Disuruh pengarah gaya berpose pun mereka nurut aja. Seperti nggak punya keinginan. Mereka kayak cangkang kosong tanpa emosi. Kata temen gue–" Jeda. Theo menatap tiga siswa itu satu per satu, "–kayak robot."

Ketiga orang lainnya saling bertatapan. Tidak mengerti. Bagaimana bisa seseorang yang hidup tapi tidak punya emosi?

"Makanya si Fauzan, temen gue yang tadi di telepon. Dia bilang kalau kalian mending nggak tahu apa-apa, dan mending mundur dari klub. Dari pada kalian stress kayak mereka," imbuh Theo.

"Kira-kira mereka diapain di asrama?" tanya Venice sambil membetulkan kuncir rambutnya.

Pertanyaan itu tidak ditujukan kepada siapa pun. Dan orang yang ada di ruangan itu juga tidak ada yang bisa menjawab.

"Gue harus cari tahu. Apa pun yang terjadi di dalam sana, itu mempengaruhi emosi kakak gue juga. Dan kemungkinan besar, hal itu yang buat kakak gue bunuh diri," ucap Kenta yakin.

AVICENNA CLUB ( END ✔️ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang