Venice mengikuti orang itu ke lantai dua. Gadis itu tidak pernah ke tempat seperti ini, bau, pengap, penuh kepulan asap rokok. Ia juga harus naik melalui tangga semen yang tidak rapi. Berbeda dengan lantai satu, lantai dua tampak begitu sepi. Di ujung lorong hanya terdapat satu pintu kayu yang terlihat sudah lapuk dimakan rayap. Ve yakin di balik pintu itu adalah tempat Pak Mo berada.
Tentu saja Ve tidak bodoh untuk datang ke tempat itu tanpa membawa senjata apapun. Di dalam saku rok selututnya sudah ada spray berisi lada yang ia sudah beli sebelum pergi ke sana. Tidak ada yang bisa Venice andalkan di tempat itu. Begitu pula dengan para perental PS di lantai bawah. Ve tidak tahu apakah mereka benar-benar perental PS, atau hanya untuk kedok belaka, demi menutupi bisnis ilegal yang sebenarnya.
"Masuk ke sini," ucap penjaga rental PS. Laki-laki itu mengetuk pintu kemudian masuk ke dalam ruangan itu.
Ve melihat ke dalamnya, tampak seperti ruangan kantor biasa. Ada tiga orang di sana. Dua orang sedang terlihat serius di depan komputer, entah apa yang mereka kerjakan. Sementara satu orang lainnya duduk di sofa sambil membuat klipingan dari koran-koran lama.
"Pak. Ada yang cari Bapak," kata penjaga rental PS.
Seseorang yang membuat klipingan koran menatap Venice dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sementara dua orang lainnya hanya melirik sekilas, kemudian mengabaikan Venice. Tanpa diberi tahu pun, Ve mengerti pria yang duduk di sofa adalah Pak Mo. Pria itu kemungkinan berusia di awal empat puluh tahunan. Dia tampak seperti pria kantoran biasa. Dengan kemeja lengan panjang yang satu kancing paling atas dibiarkan terbuka. Rambut hitam yang ditata rapi menggunakan wax, terlihat dari warna mengkilapnya.
Penampilan Pak Mo berbeda jauh dari yang Venice dapat bayangkan. Gadis itu mengira seseorang yang bekerja secara ilegal akan tampak seperti preman atau bos mafia yang sering berada di dalam film. Dengan setelan jas murahan, dan aksesoris gelang atau kalung rantai yang terlihat sangat mencolok. Pak Mo tidak seperti itu.
Sebelum pria bernama Pak Mo ini menjawab. Laki-laki penjaga rental PS mundur dan pamit untuk turun ke bawah lagi.
Ada keheningan di ruangan itu. Venice masih mengamati dua orang lainnya yang masih berfokus pada komputer masing-masing. Dua orang lainnya berpakaian lebih santai, dengan kaus oblong dan celana jeans. Mereka tampak lebih muda dari Pak Mo.
"Mau apa?" tanya Pak Mo tanpa berbasa-basi.
Bagus. Venice juga tidak suka berbasa-basi.
"Saya mau cari tahu tentang seseorang."
Pak Mo berdiri dari sofa. Kemudian menuju meja kerjanya di sudut ruangan. Tanpa disuruh, Venice mengikuti langkah pria itu.
"Nama? Usia? Pekerjaan?" Pak Mo sudah bersiap dengan sebuah buku dan penanya untuk mencatat informasi yang dapat Venice berikan.
"Kenta Bagaskara. 16 tahun. Pelajar."
"Pelajar?" tanya Pak Mo berusaha meyakinkan indra pendengarannya.
Venice mengangguk dengan yakin. Ia ingin tahu semua tentang Kenta. Di mana rumahnya. Di mana SMPnya. Di mana Kenta mengambil les tambahan. Bahkan jika laki-laki itu membayar orang untuk mengerjakan tesnya pun, Venice harus tahu ke mana uang itu berlabuh. Ia harus tahu bagaimana Kenta bisa mendapat nilai sempurna. Venice juga merasa harus mencari kelemahan Kenta. Jika ia tidak bisa mengalahkan Kenta dengan kepintarannya, setidaknya ia harus licik agar bisa mengalahkan si peringkat satu melalui kelemahannya.
"Mudah. Bukannya anak muda zaman sekarang mengunggah segalanya di media sosial?"
"Tidak dengan dia, Pak. Saya mau tahu semua tentang dia. Masa lalunya sekali pun," jawab gadis berlesung pipi itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
AVICENNA CLUB ( END ✔️ )
Teen FictionAvicenna Club, klub elite yang ada di SMA Dewantara. Siapa pun yang masuk ke klub itu, sudah dapat dipastikan akan mendapat tiket masuk ke Fakultas Kedokteran di universitas negeri favorit. Namun sayangnya, setiap tahun Avicenna Club hanya akan meng...