Pak Ardi masuk ke dalam kelas unggulan itu. Langkahnya terdengar tegas, namun wajah pria itu terlihat lebih cerah. Sebagai wali kelas, ia sangat bangga kepada siswanya. Lima siswa pendaftar klub yang berhasil lolos ke tes selanjutnya berasal dari kelas itu.
"Selamat pagi."
"Selamat pagi, Pak."
"Bapak bangga dengan kalian. Khususnya lima orang yang berhasil lolos tes ketiga klub Avicenna. Bima, Venice, Kenta, Eireen, dan Jupiter. Setelah sekian lama, akhirnya seratus persen anggota klub berasal dari kelas saya. Artinya, tiga orang di antara kalian akan menjadi dokter. Sekali lagi, saya ucapkan selamat," tutur pria berkaca mata itu.
Tepuk tangan terdengar meriah di ruangan itu. Namun, kelima anak yang berhasil lolos justru gelisah. Masih ada satu tahap tes lagi dan juga wawancara. Untuk menuju tes kedua saja mereka sudah seperti saling menjatuhkan, apalagi nanti untuk tes ketiga. Mereka harus mulai menyiapkan usaha dan strategi baru.
Sudah menjadi kebiasaan guru biologi itu, memberi pertanyaan sambil mengabsen. Seperti biasa, Bima menjadi target pertama sebab bernomor absen satu.
"Bima Martino?"
Si jangkung yang duduk paling depan itu mengangkat tangannya.
Pak Ardi menyambut dengan senyuman. "Saya punya pertanyaan, apa yang dimaksud dengan gen?"
Bima tersenyum, terlihat percaya diri. "Gen adalah substansi materi genetik yang diwariskan dari induk kepada keturunannya."
"Bagus!"
"Kenta Bagaskara?"
Mantan atlet tembak yang disebut namanya mengangkat tangan. "Hadir, Pak."
"Pertanyaan saya masih berhubungan dengan pertanyaan pertama. Apa fungsi dari gen?"
Kenta tersenyum, baginya pertanyaan itu sangat mudah. Ia sudah mempelajarinya untuk tes kedua klub. "Ada dua fungsi, Pak. Pertama, membawa informasi genetik individu ke turunannya, misalnya turunan warna rambut, warna kulit, dan ssbagainya. Kedua, sebagai pengatur metabolisme untuk perkembangan setiap makhluk hidup."
Pria berkacamata itu tersenyum puas. Sangat menyenangkan untuk mengajar di kelas unggulan itu. Semua muridnya sangat cerdas, dan sebagian besar selalu mampu menjawab pertanyaannya.
Pandangan Pak Ardi beralih kepada Jupiter. Jupiter Athaya Putra menjadi nama yang disebutkan selanjutnya. Si planet besar itu mengangkat tangan sebagai respons panggilan namanya.
"Hadir, Pak," ucapnya. "Pak. Kalau saya yang mau bertanya boleh?"
Pak Ardi mengerutkan kening. Selama ini, belum pernah ada yang bertanya padanya saat ia melakukan absensi. "Silakan."
"Kalau gen bisa membawa informasi genetik ke keturunannya. Apa seorang pembunuh juga bisa membawa sifat jahat kepada keturunannya?" tanya si planet besar.
Mendengar pertanyaan Jupiter. Otomatis membuat Bima yang duduk paling depan menoleh kepada laki-laki di barisan ketiga itu.
Si jangkung menyeringai. "Kenapa? Lo nanya buat lo sendiri ya? Takut lo jadi pembunuh juga kayak nyokap lo?"
"Gue nggak nanya lo, Banci!"
Bima menggebrak mejanya. Laki-laki jangkung itu berdiri dan berjalan cepat menuju Jupiter. Tak segan ia menarik kerah seragam si planet besar, meskipun Pak Ardi ada di sana. "Apa lo bilang?"
"Banci! Lo cuma bisa bicara omong kosong! Lo itu cuma pengecut yang nggak mau terima kenyataan kalau nyokap lo udah mati!"
Venice yang duduk di sebelah Jupiter ikut berdiri. Gadis itu memegang tangan Bima yang sudah mengeras di kemeja Jupiter. "Bim, balik ke tempat lo!"
KAMU SEDANG MEMBACA
AVICENNA CLUB ( END ✔️ )
Teen FictionAvicenna Club, klub elite yang ada di SMA Dewantara. Siapa pun yang masuk ke klub itu, sudah dapat dipastikan akan mendapat tiket masuk ke Fakultas Kedokteran di universitas negeri favorit. Namun sayangnya, setiap tahun Avicenna Club hanya akan meng...