Umumnya hari Jumat adalah hari yang cukup menyenangkan bagi siswa perempuan. Dengan jam istirahat yang setengah jam lebih lama dibanding hari biasanya. Namun, tidak bagi Eireen. Gadis itu mulai bosan dengan rubik yang sudah empat kali ia acak kemudian tertata kembali sesuai warna. Tentu saja dengan sangat mudah. Ei lebih memilih menghabiskan waktu berjam-jam berjam-jam berkutat dengan pelajaran, daripada menganggur.
Setelah tadi menghabiskan semangkuk mie ayam dan segelas jus melon, perempuan itu kembali ke kelas dan menyibukkan diri dengan rubiknya. Karena sekarang sudah bosan, ia ingin menghabiskan sisa waktu istirahatnya di perpustakaan. Mungkin melihat-lihat koleksi buku terbaru, yang sudah sebagian besar ia baca. Atau sekadar melihat koleksi lama yang lembar bukunya sudah berubah menjadi kecoklatan.
"Siang, Bu Tiwi," sapa gadis itu dengan ramah kepada ibu pustakawan.
Wanita yang disapa tersenyum. Ia sudah mengenal Eireen, terlebih gadis itu sering kali membaca buku di sana.
"Ei, udah makan belum?"
"Udah, Bu. Barusan aja," jawabnya sambil memegangi perut seakan perut mungilnya itu sudah penuh.
Wajah Bu Tiwi mendadak sumringah. "Boleh dong, bantuin Ibu."
"Bantuin apa, Bu?"
Bu Tiwi mengeluarkan setumpuk berkas. Dua map besar bertuliskan 2018 di bagian punggungnya. "Ini ada berkas-berkas lama. Minggu lalu Bu Jefina pinjam ke Ibu. Tolong kamu tata di lemari arsip ya. Tadinya Ibu mau tata sendiri tapi tempatnya di atas banget. Pinggang Ibu lagi sakit."
Eireen menatap berkas itu kemudian otaknya bertanya-tanya, untuk apa Bu Jefina meminjam berkas itu? Pasti ada hubungannya dengan klub kan? Setahu Eireen, wanita itu hanya bertugas sebagai penanggung jawab klub.
"Nggak papa kan, Ei? Jadi repotin nih."
Sebenarnya juga ada beberapa anak perempuan di perpustakaan itu. Tapi sepertinya yang bisa Bu Tiwi andalkan hanya Eireen. Tubuh Eireen yang lebih bongsor dibanding siswi lainnya tampak menjanjikan untuk menggapai rak tinggi.
"Ah iya, Bu. Oke. Aku bawa ini ya," ucap Eireen sambil membawa tumpukan map-map itu ke bagian arsip.
"Oh iya, Ei."
Eireen menatap Bu Tiwi yang sibuk mengacak laci mejanya. Kemudian ia mengambul kunci dan menyerahkannya pada Eireen.
"Itu kunci lemari arsipnya."
Gadis bongsor itu segera mengambil kunci dan memasukkan ke dalam saku kemejanya. Tadi ia hampir saja langsung jalan ke lemari arsip. Ei lupa, padahal lemari itu selalu terkunci.
Eireen segera berjalan ke arah sayap kanan perpustakaan, dengan tumpukan map lama di tangannya. Bagian arsip memang selalu diletakkan di bagian tersembunyi. Lemari paling belakang yang jarang dilalui orang. Lagi pula siapa yang akan membaca arsip sekolahan? Yah, pertanyaan itu tidak tepat ditujukan untuk Eireen. Gadis itu penuh rasa penasaran.
Dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Gadis itu duduk bersila di dekat lemari arsip. Tentu saja agak bersembunyi, agar Bu Tiwi tidak dapat melihatnya. Kemudian ia menumpuk map-map tebal itu di atas lantai. Otaknya sudah sibuk memikirkan ada keperluan apa Bu Jefina sampai meminjam berkas ini.
Perempuan bongsor itu mulai membuka map pertama berwarna biru tua. Dalam map itu terdapat kertas pembatas yang bertuliskan kelas X-1. Tanpa perlu diberi tahu, Eireen paham bahwa itu adalah kelas unggulan tiga tahun lalu, sama seperti kelasnya saat ini.
Detik berikutnya, gadis itu membalik lembaran kertas pembatas. Data siswa nomor urut satu. Eireen melihat pas foto laki-laki berseragam SMA Dewantara dengan latar belakang merah. Ia tidak mengenali sosok itu, namun wajahnya terasa familiar. Kedua netra gadis itu beralih pada nama pemuda di dalam foto, Raiden Bagaskara.
KAMU SEDANG MEMBACA
AVICENNA CLUB ( END ✔️ )
Teen FictionAvicenna Club, klub elite yang ada di SMA Dewantara. Siapa pun yang masuk ke klub itu, sudah dapat dipastikan akan mendapat tiket masuk ke Fakultas Kedokteran di universitas negeri favorit. Namun sayangnya, setiap tahun Avicenna Club hanya akan meng...