17 : Pencopet

1.7K 312 8
                                    

Kenta memasang airpods di telinga kanan dan kirinya. Ia mendengarkan musik bergenre pop-rock, kesukaan laki-laki itu. Tas ransel hitam berornamen merah, yang terlihat berat itu sudah berada di punggungnya.

Beberapa siswa lain yang sudah lelah belajar, terlihat senang karena berhasil melewati minggu ini. Mereka langsung pergi dari kelas untuk menikmati akhir minggu mereka. Kenta juga sama, ia sudah siap untuk pulang.

Sama seperti kebanyakan sekolah swasta pada umumnya. SMA Dewantara berada di dalam komplek perumahan mewah di sana. Dan keluarga Kenta merupakan salah satu pemilik properti di perumahan itu. Kadang Kenta pergi menggunakan motornya atau berjalan kaki. Tergantung mood. Namun hari itu, ia memilih untuk berjalan kaki.

Sore itu terlihat begitu cerah. Beberapa anak kecil berlarian di jalan khusus pejalan kaki. Kenta tersenyum. Mantan atlet tembak itu ingat, ia dan Raiden juga sama cerianya saat itu. Mereka sering bermain penjahat polisi. Di mana Raiden selalu mengalah untuk menjadi penjahatnya. Dan pistol mainan berisi peluru plastik milik Kenta selalu menjadi andalan laki-laki itu. Mungkin saat itu ia sudah tertarik dengan olahraga tembak.

Kenta melihat langit yang sebentar lagi berubah menjadi oranye. Ia berharap Raiden di atas sana bisa terus mendukung rencananya. Kenta harus mengungkap kebusukan di balik klub itu. Klub yang dianggap sempurna oleh orang, padahal menyimpan rahasia gelap.

Saat Kenta tidak begitu memperhatikan jalan. Seorang anak kecil berlari dan menabrak Kenta. Tubuh Kenta yang jauh lebih besar hanya terdorong sedikit ke belakang.

"Ups, Kak. Maaf," ujar seorang anak laki-laki yang tidak sengaja menabrak Kenta. Anak itu menunduk, merasa bersalah.

Kenta membalas dengan senyuman. Laki-laki itu melepas airpods dari telinga dan memasukkan ke saku celananya. Senyumnya hangat, ia menunjukkan sisi lain yang tidak pernah ia tunjukkan di sekolah.

"Iya, nggak papa. Lain kali hati-hati ya."

"Makasih, Kak. Ini karena temen aku kejar aku pakai ketapel," ucap anak itu lagi sambil menunjuk ke arah belakang.

Ada anak kecil lain yang terlihat seumuran dengannya. Anak itu berlari kecil menuju Kenta. "Maaf, Kak."

Kenta melihat ketapel yang dipegang anak itu. Itu bukan jenis ketapel kayu murah yang pernah Kenta mainkan dulu saat kecil. Tapi itu ketapel mahal dengan kualitas bagus dengan pegangan metal yang kuat. Belum lagi teknologi infrared dan laser yang membantu memberi keakuratan tembakan.

"Ini punya kamu?" tanya Kenta dengan heran. Ia tahu bahwa ketapel jenis itu biasanya hanya untuk berburu.

Anak itu terlihat takut saat menjawab pertanyaan Kenta. "Aku ambil sembunyi-sembunyi dari rumah, Kak. Punya Om aku."

Kenta berjongkok, agar tingginya bisa menyamai anak kecil itu. Ia tidak ingin ada kesan mengintimidasi. "Jangan pakai ini untuk bermain ya. Temen kamu bisa celaka kalau kamu tembak pakai ini."

"Tadi aku cuma mau tunjukin aja, Kak. Tapi dia malah nantangin katanya nggak akan sakit kalau di tembak pakai ketapel."

Kenta tersenyum melihat kedua anak kecil itu. "Udah jangan saling salahin. Ayo salaman. Kalian harus akur. Dan kembalikan ketapel ini ke Om kamu ya."

Kedua anak itu menurut. "Makasih, Kak."

Kenta berdiri dan ingin melanjutkan perjalanannya. Namun, belum sempat ia melangkah. Ia melihat Eireen yang ada tidak jauh dari sana. Perempuan itu berdiri di depan minimarket sambil memegang dompet merah dan satu kantung plastik, entah berisi apa.

Mantan atlet tembak itu berdecak malas. Perempuan berisik itu terlihat menganga, mungkin karena melihat sosok Kenta yang berbeda selama ini. Kenta mengalihkan pandangan ketika Eireen terlihat akan menyapa.

AVICENNA CLUB ( END ✔️ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang