39 : Histeris

1.6K 310 17
                                    

Lima orang itu terdiam. Tidak ada yang berani membuka suara. Bima yang masih tidak bisa mempercayai siapa ibu kandungnya. Dan empat orang lainnya yang mencoba menerka bagaimana perasaan si jangkung saat ini. Apakah dengan fakta ini, rencana akan tetap dijalankan atau tidak.

"Bim." Sekuat tenaga Venice berusaha membuat keluar suaranya yang sejak tadi terjebak di kerongkongan.

Laki-laki yang dipanggil namanya mengembuskan napas panjang. "It doesn't matter, guys. We stick to the plan. Okay?"

Gadis kelahiran Italia yang duduk di seberang, menggenggam tangan laki-laki itu. "Are you sure?"

Bima memaksakan sebuah senyuman. Ada perasaan mengganjal di hatinya, tapi ia tidak mau mengakui Bu Jefina sebagai ibu kandungnya. "Yeah, sure. Ada info lain dari Pak Mo?"

Venice menggeleng. "Bukan itu yang penting sekarang. Ya kan, temen-temen?"

Jupiter, Kenta, dan Eireen ikut mengangguk.

"Iya. Sekarang bukan itu yang penting, Bim."

"Iya, setuju sama Ve dan Ei. Kita bahas besok lagi aja," sahut mantan atlet tembak.

"Kita seneng-seneng aja gimana?" usul Eireen dengan mata berbinar.

Jupiter menjentikkan jemarinya dua kali. "Ngapain ya enaknya?"

"Coba browsing. Atau kita ke timezone aja?" Venice mulai membuka aplikasi safari di ponselnya.

"Iya, boleh tuh." Kenta ikut setuju. Sudah lama ia tidak ke tempat bermain itu.

"Makan aja sih," usul si planet besar.

"Ju. Pikiran lo makan mulu. Belum waktunya makan malam. Lo tadi nggak makan siang apa gimana?" sindir Eireen.

"Ke pantai aja kali, lihat matahari terbenam. Gimana?" tanya Venice dengan penuh semangat.

Empat orang itu sibuk saling bicara, berusaha mengalihkan pembicaraan. Tidak ingin perasaan Bima bertambah buruk.

"Guys. Dengerin gue," potong Bima. "Gue beneran nggak papa. Nyokap gue tetep Mama Tiara. Dan dari info yang Venice kasih, nggak ngubah fakta kalau emang gue dibuang waktu kecil. Jadi, ayo kita lanjutin rencana kita."

Keempat orang yang lain terdiam. Saling pandang.

"Pasti sakit ya, Bim?" Gadis kelahiran Italia itu mengeluarkan setetes air matanya. Lalu ia mendongak, mengibaskan wajah dengan tangan. Berharap air matanya tidak tumpah lebih deras. "Harusnya gue nggak saranin cari tahu latar belakang Bu Jefina ke Pak Mo."

"Venice," kata Eireen dengan suara bergetar. Lalu ia mengambil selembar tisu dari meja dan memberikan pada gadis kelahiran Italia itu.

"It's okay, Ve. Gue emang anak panti asuhan. Dan seharusnya gue udah siap tahu, kalau nyokap gue itu sengaja buang gue. So, ini bukan salah lo," jawab si jangkung.

"Bim." Jupiter menubruk laki-laki itu dengan pelukan. "Nggak usah sok kuat lo."

"Gue nggak sok kuat, kok. Gue emang udah punya prediksi kalau gue anak buangan," ucap si jangkung lagi.

"Kalimat lo bikin makin sedih tahu nggak?" protes Eireen.

Lalu Ei mengambil selembar tisu. Kali ini untuknya sendiri. Venice juga menambah jumlah tisu karena air matanya justru makin deras.

Kenta yang duduk di sebelah Eireen, berusaha menenangkan gadis itu.

"Udah. Jangan pada nangis lagi," titah Bima yang melihat gadis-gadis itu menangis. "Dan lo, Ju. Lepas nggak pelukan lo? Geli tahu!"

AVICENNA CLUB ( END ✔️ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang