Entah sudah berapa lama Bima dan papanya menunggu di ruang tunggu ruang operasi. Sudah ada beberapa gelas kopi sekali pakai di atas meja di depan keduanya. Bima masih gelisah, ia tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa Tiara. Ia bahkan belum bisa membalas budi kepada wanita malang itu.
"Pa, Mama pasti selamat kan?"
Rendi juga menyadari kegelisahan putranya. Laki-laki bertubuh tegap itu juga merasakan hal yang sama dengan Bima. Ia mengangguk dengan tidak yakin. "Mudah-mudahan. Kita cuma bisa berharap dan berdoa, Bim."
Bima mengangguk dengan penuh pikiran positif. Ia berharap Tuhan tidak sekejam itu untuk mengambil Tiara saat ini. Bima belum berhasil memberi kebahagiaan untuk ibu angkatnya itu. Tanpa Bima sadari, Rendi menatap Bima dan pakaiannya yang penuh darah milik istrinya. Laki-laki paruh baya itu tidak bisa membayangkan separah apa kecelakaan itu hingga begitu banyak darah di tubuh putranya.
"Bim, kamu nggak mau pulang dulu? Baju kamu banyak darahnya Mama," pinta Rendi.
Putranya itu menggelengkan kepala, "Nggak, Pa. Bima mau di sini. Aku mau pastiin operasi mama berhasil."
"Bim," panggil Rendi.
"Iya, Pa?"
"Kalau seandainya terjadi sesuatu sama Mama yang tidak sesuai dengan harapan kita. Jangan salahin diri kamu ya. Kamu sudah berusaha yang terbaik, bahkan berhasil membawa mama ke rumah sakit," tutur Rendi. Rendi berpikir rasional, ia harus bersiap menghadapi segala kemungkinan yang ada.
"Papa jangan ngomong gitu, Mama pasti selamat. Mama harus selamat, Pa." Tangan Bima bergetar. Tak dapat dipungkiri, kemungkinan itu ada. Di dalam ruangan itu, mamanya tengah berjuang antara hidup dan mati. Kemungkinan hidup dan mati itu sama besarnya.
Pintu yang menghubungkan dengan ruang tunggu dan ruangan operasi perlahan terbuka. Bima dan Rendi memusatkan atensinya kepada seorang dokter yang keluar dari ruangan itu. Kemudian keduanya berdiri untuk menyambut kemunculan dokter itu.
"Keluarga Ibu Tiara?" panggil dokter berparas cantik itu.
Rendi menganggukkan kepala. "Saya suaminya."
Dokter wanita itu melepaskan maskernya. Bima dapat melihat raut wajah itu, wajah yang menyiratkan kesedihan. Sebelum dokter itu bicara, Bima sudah menduga apa yang akan dikatakan olehnya.
"Maafkan kami, Pak. Kami telah berusaha maksimal. Namun kondisi Ibu Tiara saat di bawa ke rumah sakit juga sudah terlalu parah."
Tubuh jangkung Bima melemas. Lututnya seakan tidak mampu menopang seluruh berat badannya. Penjelasan dokter itu tentang organ dalam yang tidak bisa diselamatkan semakin memudar di indra pendengarannya.
"Kenapa?" tanya Bima dengan penuh penekanan. Ia tidak peduli jika pertanyaannya itu memotong penjelasan dokter yang berdiri di depannya itu.
"Kenapa Anda datang terlambat? Kenapa Anda tidak bisa datang lebih cepat? Saya menunggu persiapan operasi cukup lama. Saya menunggu kedatangan Anda cukup lama!" Nada bicara Bima sudah tidak bisa dikontrol. Ia meninggikan suaranya hingga beberapa orang di sana menatap Bima penuh rasa iba.
"Seandainya Anda datang lebih cepat! Seandainya Anda datang lima belas menit, sepuluh menit, atau lima menit lebih cepat! Pasti mama saya akan selamat!"
"Bima! Jangan seperti itu!" bentak Rendi, "Dokter ini sudah berupaya. Papa yakin ini memang sudah takdir dari Tuhan."
Bima menggelengkan kepalanya. Dengan segenap tenaga ia berlari meninggalkan ruangan itu. Ia berlari menghindari kenyataan. Bagi Bima, Tiara adalah malaikat pelindungnya, malaikat itu datang menjemputnya ketika ia masih belum mengerti apa itu keluarga. Dan Bima mendapat arti keluarga sesungguhnya dari Tiara. Bima tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya jika saat itu Tiara tidak mengadopsinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AVICENNA CLUB ( END ✔️ )
Fiksi RemajaAvicenna Club, klub elite yang ada di SMA Dewantara. Siapa pun yang masuk ke klub itu, sudah dapat dipastikan akan mendapat tiket masuk ke Fakultas Kedokteran di universitas negeri favorit. Namun sayangnya, setiap tahun Avicenna Club hanya akan meng...