Hari Sabtu ini sangat tenang. Keramaian yang didengar saat tes pertama, kali ini tidak ada. Kenta kembali melihat slogan yang terpampang di gapura SMA Dewantara, Studium est Proelium. Ya, ini adalah pertarungan kedua untuk bisa masuk ke klub Avicenna.
Mantan atlet tembak itu masuk dan menuju ruang tunggu ujian. Begitu sampai di depan ruangan, ia melihat sembilan anak lainnya menatap Kenta dengan pandangan penuh rasa iba. Mereka berkerumun di depan ruangan itu. Kenta penasaran apa yang membuat mereka berkumpul.
Laki-laki itu membulatkan matanya. Sebuah artikel tertempel di depan pintu ruang tunggu. Artikel tentang kematian kakak Kenta.
Raiden Bagaskara, kakak dari Kenta Bagaskara, meninggal bunuh diri. Raiden adalah siswa SMA Dewantara, ditemukan bunuh diri di rumahnya setelah berhasil masuk ke dalam klub Avicenna.
Kenta tidak membaca paragraf lainnya. Ia segera mencabut artikel itu dari pintu ruang tunggu. Napasnya memburu. Kedua tangannya sudah terkepal kuat, memperlihatkan otot-otot yang tercetak jelas. Laki-laki itu menatap sembilan orang lainnya, namun tatapannya berhenti di Eireen.
Laki-laki itu tersenyum miring, ia tahu siapa yang mengetahui tentang rahasianya. Mantan atlet tembak itu berjalan cepat menuju gadis yang sudah dekat dengannya sebulan ke belakang.
"Maksud lo apa?" tanya Kenta dengan ketus sambil melemparkan artikel ke arah Eireen.
Eireen terkejut mendapat perlakuan itu. Gadis itu memungut artikel yang terjatuh di lantai dan meremasnya. Gadis itu tidak hanya menatap Kenta, namun juga teman yang lain. Eireen merasa seperti dihujani tuduhan melalui tatapan mereka.
"Bukan gue, Ken." Eireen menggelengkan kepala. Ia sudah hampir menangis mendapat tuduhan itu.
"Kalau bukan lo, siapa? Cuma lo yang tahu rahasia gue! Jadi ini yang bikin lo selalu mau tahu tentang urusan pribadi gue? Cewek munafik!"
Eireen berusaha menahan air matanya, tapi tidak bisa. Air mata itu tetap meluncur membasahi pipinya.
"Sumpah, Ken. Gue berani sumpah! Bukan gue!"
"Nggak usah ngibul lo! Kalau lo mau jatuhin gue, nggak gini caranya! Pakai otak lo buat belajar! Jangan bikin artikel sampah kayak gitu!"
"Tapi, Ken. Beneran bukan gue," ucap Eireen sambil terisak.
"Hapus air mata busuk lo!"
Tangan Eireen bergetar, ia tersentak karena kalimat bentakan itu. Dengan cepat, ia menghapus jejak air matanya.
"Lo sengaja kan ngerusak mood gue pas mau tes kedua? Supaya apa? Supaya gue nggak konsentrasi dan peringkat gue jatuh? Brengsek lo!"
"Ada ribut-ribut apa ini?" Bu Jefina datang. Wanita itu mendengar keributan yang dibuat Kenta.
Kenta mendengkus, tidak mengharapkan kehadiran Bu Jefina di saat seperti ini.
"Ayo masuk ke dalam. Tidak boleh ada keributan saat berada dalam pengawasan saya," tutur pengawas klub itu.
Sepuluh siswa itu masuk ke dalam ruang tunggu. Mengambil kursi masing-masing. Sementara Bu Jefina berdiri di depan.
"Tes kedua akan segera dilaksanakan. Untuk tes kedua, akan diambil lima besar. Dan untuk tes kali ini, hasil peringkat sementara dapat dilihat setiap tiga puluh menit," ujar Bu Jefina. "Sama seperti sebelumnya, tidak boleh ada yang keluar ruangan selama ujian berlangsung."
"Tinggalkan semua barang bawaan, termasuk ponsel, kalkulator, alat tulis, jam tangan, dan lainnya. Jika sudah boleh pindah ke ruang IT."
Setelah menuruti perintah Bu Jefina, mereka beranjak ke ruang IT. Sementara itu, Bima menahan pergelangan tangan Venice, dan berjalan bersisian dengan gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
AVICENNA CLUB ( END ✔️ )
Teen FictionAvicenna Club, klub elite yang ada di SMA Dewantara. Siapa pun yang masuk ke klub itu, sudah dapat dipastikan akan mendapat tiket masuk ke Fakultas Kedokteran di universitas negeri favorit. Namun sayangnya, setiap tahun Avicenna Club hanya akan meng...