36 : Satu Peluru

1.6K 304 9
                                    

Blouse berwarna biru tua dan rok span hitam selutut menjadi pilihan Bu Jefina hari itu. Rambutnya terikat rapi seperti biasanya. Awalnya, wanita itu terkejut melihat Kenta yang berada di dalam ruangan itu pagi sekali. Tapi ia segera mengubah wajah terkejutnya menjadi wajah super ramah dengan senyumannya.

"Kenta, ada perlu apa?" tanya Bu Jefina.

Wanita itu tidak berniat menegur Kenta yang sedang duduk di atas kursinya, justru ia memilih berjalan menuju sofa yang dikhususkan untuk tamu. Wanita itu duduk di sofa yang bisa berhadapan langsung dengan Kenta.

Kenta menyeringai melihat Bu Jefina yang mau mengikuti permainannya. "Ruangan seluas ini, ternyata kosong. Bahkan komputer canggih ini, juga kosong. Tidak ada hal penting di dalamnya."

Bu Jefina tersenyum lagi dan menatap mata Kenta tanpa ragu. "Memangnya apa yang kamu cari?"

Kenta mengangkat bahunya, lalu menyandarkan punggung di kursi nyaman itu. Bersikap seolah ia yang memegang kendali dari percakapan ini.

"Mungkin sesuatu yang ibu harap saya tidak bisa temukan," jawab mantan atlet tembak itu.

"Saya tidak menyimpan rahasia apa-apa. Jangan berlebihan."

"Oh ya?" Kenta tersenyum miring. "Uang tutup mulut karena siswa yang mencuri jawaban. Di mana uang itu sekarang?"

Bu Jefina tertawa. Bukan tawa bahagia, namun terlihat seperti tawa yang menyindir. "Jadi keributan pagi ini karena uang yang bahkan bukan milik kamu?"

"Tergantung. Sejauh mana Ibu bisa beri penjelasan pada saya. Kalau ternyata jawaban Ibu tidak cukup membuat saya puas, saya bisa bicarakan hal lain."

Wanita yang duduk di sofa tamu itu mengerutkan kening, berpikir apa saja yang Kenta tahu.

"Seorang penjahat harus mendapat hukuman. Entah masuk penjara atau membayar denda. Bukankah begitu hukum di negara kita?"

"Jadi maksud Ibu, itu adalah uang denda bukan uang tutup mulut? Lantas, apa Ibu adalah seorang hakim yang bisa memutuskan hukuman untuk seseorang?"

Bu Jefina memiringkan kepala, masih menatap siswanya itu. "Saya memang bukan hakim. Tapi saya sudah menawarkan pada teman kamu, pilih membayar atau mengambil langkah hukum. Namun walinya memilih untuk membayar saja. Saya hanya pemberi opsi, dan mereka yang memilih. Jadi, kenapa saya harus bertanggung jawab atas pilihan mereka sendiri?"

Mantan atlet tembak itu mulai panas. Ia mendengkus, jijik mendengar perkataan Bu Jefina.

"Tapi yang ibu lakukan adalah pemerasan!" Mantan atlet tembak itu sudah tidak bisa mengontrol nada bicaranya. Tanpa sadar, ia meninggikan suara.

Bu Jefina tersenyum miring karena Kenta terpancing emosi. "Kamu punya bukti? Apa saya memaksa mereka untuk membayar? Saya hanya menawarkan bayar atau jalur hukum."

Kenta geram. Emosinya seperti akan meledak saat itu juga. Ia terlalu meremehkan wanita itu. Bu Jefina terlalu pandai untuk memainkan keadaan. Membuat situasi agar siswanya mudah mencuri soal, dan memanfaatkan itu untuk mendapatkan keuntungan diri sendiri.

Melihat Kenta yang terdiam, Bu Jefina menyeringai. "Kenta, jangan bilang kalau kamu merasa tidak bersalah."

Laki-laki yang diajak bicara tidak mengerti. "Apa maksud Ibu?"

"Kamu tahu kan kalau soal di tes kedua ada soal dari kelas sebelas dan dua belas. Dan saya tidak pernah memberi tahu hal itu kepada peserta sebelumnya. Lalu, dari mana kamu bisa menjawab soal itu dengan benar? Kecuali kalau kamu punya soal atau minimal kisi-kisi."

Kenta mendengkus. "Jadi, Ibu mengira saya juga curang? Lalu sekarang Ibu mau minta uang juga ke saya?"

Bu Jefina tertawa puas, yang membuat mantan atlet tembak itu semakin bingung.

AVICENNA CLUB ( END ✔️ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang