Dengan segelas cola dingin di tangan dan melihat pemandangan barisan gedung yang menjulang tinggi di pusat kota Milan, Venice mengembuskan napas panjang. Udara di kamar sewa gadis itu terasa mulai panas, AC yang menyala seakan kurang bisa melepas dahaganya. Apalagi Venice baru saja keluar untuk membeli kain untuk desain pakaiannya. Jangan ditanya bagaimana udara di luar sana, cukup membuat Venice berkeringat dengan membawa dua gulung kain dari toko ke apartemen.
Libur musim panas segera tiba. Hampir satu tahun berada di negara kelahirannya itu, membuat Venice melupakan sejenak apa yang terjadi beberapa bulan yang lalu. Papanya yang diberi hukuman penjara untuk waktu yang cukup lama, belum lagi fakta kalau laki-laki yang ia sukai adalah saudaranya sendiri. Venice kira dengan pindah ke Milan, ia akan melupakan itu semua. Namun dengan liburan musim panas di depan mata, membuat Venice yakin, perasaannya terhadap Bima belum sepenuhnya menghilang.
Apa kabar laki-laki itu?
Pertanyaan itu selalu berputar di otaknya. Grup chat yang berisi lima orang itu, hanya Venice timbun sampai ada ratusan notifikasi di dalamnya. Bohong kalau Venice bilang tidak ingin di kick dari grup itu. Berkali-kali Venice berusaha untuk keluar dan tidak ingin berkaitan apa pun dengan Bima, tetapi berkali-kali itu pula ia mengurungkan niatnya. Eireen memang beberapa kali memberinya pesan di luar grup, Venice bodo amat ketika dibilang sombong oleh gadis bongsor itu. Ia hanya beralasan, dengan perbedaannya waktu Indonesia dan Italia, membuatnya kesulitan untuk keep in touch.
Pandangan Venice kini beralih di meja sebelah kanannya. Diletakkannya gelas cola yang berembun itu di atas meja. Lalu tangannya beralih menuju lembaran tiket pesawat untuk kembali ke Indonesia, dua hari lagi. Venice mengembuskan napas panjang. Ia belum siap. Sehingga, dari pada ia harus mengemas pakaian untuk pulang, ia lebih memilih untuk membuka aplikasi travel dan mengajukan pengembalian tiketnya.
Setelah mengajukan pengembalian tiket, Venice mencari nama Theo dan menghubungi kakak laki-laki kandungnya itu.
"Halo?"
Begitu mendengar suara kakaknya, Venice langsung bicara, "Kak. Gue nggak jadi balik. Um, ada tugas selama musim panas. Bilang maaf ke mama."
Tidak ada sahutan di ujung telepon.
"Kak?"
"Bentar, Ve. Di sana jam berapa? Jam lima sore kan? Di sini jam sepuluh malem, Ve. Otak gue ngelag, abis pulang kerja. Jadi, gimana? Lo nggak jadi balik?"
Venice mengembuskan napas panjang. "Iya. Gue nggak jadi pulang. Tiket udah gue refund. Bilang maaf ke mama."
"Ke Bima juga?"
Mendengar nama Bima disebut, membuat gadis itu kembali mengembuskan napas panjangnya. "Ya. Boleh."
~~~
Suara mesin jahit menderu di ruang apartemen Venice. Jika orang lain pergi berlibur, menggelapkan kulit di pinggir pantai. Tidak dengan Venice. Walaupun ia berbohong pada Theo, padahal tidak memiliki tugas untuk musim panas. Ia tetap berlatih menjahit. Ia tidak ingin tertinggal di antara teman-temannya. Sehingga ia sekarang membuat baju yang sudah di desainnya beberapa hari lalu.
Gerakan gadis itu terhenti ketika ia mendengar suara ketukan di pintu apartemen. Venice tidak memiliki banyak teman dekat di Italia. Seingat Venice, teman dekat satu-satunya, Tessa, sedang berlibur ke Inggris. Kata Tessa, ia ingin mencari inspirasi royal fashion design, ala-ala Queen dan Kate Middleton. Apa mungkin Tessa tidak jadi berangkat ke Inggris? Ah entahlah. Dengan malas, Venice beranjak dari kursi dan membuka pintu apartemen yang terbuat dari kayu itu.
"SURPRISE!!"
Seruan heboh itu berasal dari empat orang temannya dan juga Theo. Venice tidak bisa menutupi rasa rindu dari sorot matanya. Secepat kilat ia memeluk Eireen yang paling dekat dengan pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
AVICENNA CLUB ( END ✔️ )
Ficção AdolescenteAvicenna Club, klub elite yang ada di SMA Dewantara. Siapa pun yang masuk ke klub itu, sudah dapat dipastikan akan mendapat tiket masuk ke Fakultas Kedokteran di universitas negeri favorit. Namun sayangnya, setiap tahun Avicenna Club hanya akan meng...