Jupiter menatap ke arah Kenta dan Eireen bergantian. Eireen yang merasa medapat tatapan tajam itu mengangkat bahunya.
"Gue mau ikut. Gue juga mau tahu ada masalah apa sama Bu Jefina," ujar Eireen.
"Tapi ini masalah pribadi Venice," bantah Jupiter.
"Ju. Biarin mereka ikut," ucap Venice.
Perempuan kelahiran Italia itu menatap Kenta. Venice mengerti bahwa kemungkinan Kenta tahu lebih banyak tentang klub dari pada yang lain, karena kakaknya adalah anggota klub. Mungkin Kenta bisa memberi tahu informasi berguna.
Keempat siswa itu mengekori Bima menuju tangga. Mereka menuju lantai tiga. Lima orang itu jalan dalam diam. Sementara si jangkung terus berjalan hingga ujung koridor. Lalu ia berbelok ke sebelah kiri koridor. Ternyata di sana ada lorong kecil, yang hanya bisa dilalui oleh dua orang berpapasan.
Gadis berlesung pipi yang berjalan di belakang Bima, menarik ujung lengan laki-laki itu.
"Bim, kita mau ke mana?"
"Ikut aja."
Tidak ada kalimat protes lain. Hingga akhirnya lorong itu berakhir di sebuah ruangan tidak terkunci. Kelima siswa itu masuk ke dalamnya. Ruangan itu kosong. Luasnya lebih kecil dari ruang kelas mereka.
"Ini ruangan apa?" tanya Eireen penuh penasaran.
"Ini dulunya bekas simpan peralatan olahraga, sebelum dipindah ke dekat lapangan."
Jupiter membulatkan mulutnya sebelum menyahut, "Kok lo tahu tempat ini bekas ruang penyimpanan alat olahraga?"
Si jangkung menunjuk ke arah pintu. Rupanya di depan pintu itu ada tulisan yang hampir pudar, namun jika diperhatikan dari dekat masih terbaca.
Ruang Alat Olahraga.
Keempatnya menganggukkan kepala paham.
Eireen mengelilingi ruangan itu, lalu berhenti di jendela kaca yang menunjukkan gerbang sekolah di bawah sana. Perempuan itu mengamati gerbang sekolah yang mulai dimasuki banyak siswa lain.
"Btw, lo tahu ruangan ini dari mana?" tanya gadis itu.
"Itu pas gue–" Bima berdehem, lalu melirik Venice sekilas. "–cari tempat ngerokok."
Eireen mendelik. "Lo ngerokok?"
"Sstt. Nggak usah basa-basi. Kita nggak ada banyak waktu. Jadi, berapa?" tanya Jupiter kepada Venice. Ia tahu, mereka tidak punya banyak waktu sebelum bel masuk kelas berbunyi.
"Lima ratus."
Si planet besar melebarkan matanya. "Juta?"
"Iya lah, Ju. Masa lima ratus ribu. Itu sih gue bisa bayar sendiri tanpa harus libatin bokap."
Venice melipat tangan di depan dada sambil mendengkus. "Wanita itu. Licik banget. Dia sengaja bikin pencurian soal itu mudah. Dia tahu akan ada anak kayak gue, yang pilih jalan pintas. Lalu mengambil keuntungan dari hal itu."
Keempat lainnya mengangguk setuju.
"Gue punya asumsi. Sepertinya klub itu sengaja dibuat eksklusif. Sama kayak kalian kalau lihat barang yang limited edition, pasti tergiur kan?" tanya si jangkung.
Yang lain diam, tidak yakin dengan jawabannya.
"Contohnya mobil, cuma ada tiga di dunia. Kira-kira lo bangga nggak kalau punya mobil itu?" tanya Bima lagi.
Yang lain mengangguk.
"Kira-kira banyak nggak yang mau jadi salah satu pemilik mobil itu?"
Pertanyaan Bima dijawab lagi dengan anggukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
AVICENNA CLUB ( END ✔️ )
Teen FictionAvicenna Club, klub elite yang ada di SMA Dewantara. Siapa pun yang masuk ke klub itu, sudah dapat dipastikan akan mendapat tiket masuk ke Fakultas Kedokteran di universitas negeri favorit. Namun sayangnya, setiap tahun Avicenna Club hanya akan meng...