Setelah merapikan dasi, Eireen mengikat rambutnya asal. Ia mengambil tas ranselnya dan pergi keluar kamar.
Ei mengendus aroma roti bakar dan mentega sampai ke ruang makan, "Sarapan roti nih."
"Ayo sarapan dulu, Ei."
"Iya, Ma." Eireen mengambil salah satu kursi di meja makan. Kemudian meletakkan tas ransel di samping kursi makannya.
"Papa di mana, Ma?"
"Lagi mandi. Makan duluan aja, nanti terlambat," ujar Nadila, sambil mengoleskan selai di atas roti yang sudah berwarna kecoklatan karena dibakar.
Setelah Nadila mengoleskan selai di setangkup roti, roti itu diberikan ke putri semata wayangnya, Eireen. Tak lupa ia menuangkan segelas susu coklat, dan diberikan di sebelah piring Eireen.
"Makasih, Ma," ucap Ei lalu menyunggingkan senyum manisnya. Sedetik kemudian, satu gigitan roti berhasil memenuhi isi mulutnya.
"Hari ini keluar hasil psikotesnya ya?" tanya Nadila.
Ei menjawab dengan anggukan sebab mulutnya penuh dengan roti.
"Mama doain semoga Ei dapat yang terbaik."
Gadis yang diajak bicara mengacungkan jempolnya, menandakan terima kasih kepada ibunya.
Suara pintu kamar mandi terbuka. David, ayah Ei, keluar dari kamar mandi. Pria itu mengeringkan rambutnya yang setengah basah dengan handuk.
"Pagi, Pa," salam Ei setelah berhasil menelan rotinya.
Tangan kanan David membelai rambut kecoklatan Eireen. Kemudian ia mengambil kursi yang paling ujung. Nadila dengan sigap, membuat secangkir kopi untuk suaminya.
"Papa antar aja ya hari ini?"
Ei menggelengkan kepala, "Nggak, Pa. Eireen naik sepeda aja."
"Terima saja tawaran Papa, Ei. Lagipula Mama nggak tega lihat kamu kemarin pulang dan sepedanya kamu tuntun begitu. Belum lagi ada luka di tangan sama di lutut," kata Nadila kemudian ia meletakkan secangkir kopi panas di depan David.
"Kan kemarin sepedanya juga sudah dibenerin langsung sama Mang Ucup," bantah Ei. Eireen memang sudah meminta tolong supir keluarganya untuk membetulkan sepedanya kemarin.
"Pakai motor yang sudah Papa belikan saja, gimana? Kasihan juga itu motor sudah kebeli, malah tidak terpakai," tawar David.
Sekali lagi, Eireen menggelengkan kepalanya. "Go green, Pa. Kalau nggak dari diri sendiri yang memulai, kapan dunia ini akan berubah? Lagi pula, sekolahan Ei itu juga deket banget kali, Pa."
Memang benar, rumah Eireen sangat dekat dengan SMA Dewantara. Jika Eireen naik sepeda, itu bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih lima belas menit. Eireen bukan dari keluarga yang kekurangan atau apa, memang dasarnya ia mencintai lingkungan.
"Ya sudah, hati-hati. Cek dulu roda dan remnya sebelum jalan," ucap David kalah perdebatan.
Setelah menghabiskan sarapannya. Gadis berambut kecoklatan itu berpamitan dan pergi ke sekolah.
Eireen mengayuh sepeda dengan santai, hingga ia mendapati sosok Kenta yang sedang berjalan kaki dari belakang. Dengan senyuman usilnya, ia mengayuh sepedanya lebih cepat hingga sejajar dengan laki-laki itu.
"Eh, lo yang kemarin hampir gue tabrak ya?" tanya Eireen sambil bersepeda santai, menyamai tempo langkah kaki Kenta.
Tak ada balasan dari Kenta.
"Songong amat jadi orang. Kelas berapa sih lo?"
Kenta melepaskan earphone yang terpasang di telinganya. "Lo ngomong sama gue?"
KAMU SEDANG MEMBACA
AVICENNA CLUB ( END ✔️ )
Teen FictionAvicenna Club, klub elite yang ada di SMA Dewantara. Siapa pun yang masuk ke klub itu, sudah dapat dipastikan akan mendapat tiket masuk ke Fakultas Kedokteran di universitas negeri favorit. Namun sayangnya, setiap tahun Avicenna Club hanya akan meng...