⚠️ Ada adegan kekerasan. Jangan ditiru kawan. Yang nggak tahan, boleh skip aja ⚠️
___________________________________________
"Serahkan senjata kalian!" perintah anak buah Bu Jefina.
Kenta bergeming. Mantan atlet tembak itu ragu-ragu apakah dengan menyerahkan senjata adalah pilihan yang tepat. Sementara, hanya laki-laki itu yang memegang senjata saat ini.
"Saya tidak main-main!" amuk pria tidak sabaran itu.
Kenta melihat mata pria itu, warnanya sudah berubah kemerahan tanda menyimpan amarah di sana. Ia melihat pergerakan tangan pria itu. Tangan pria itu memegang pistol dengan baik. Kenta tahu mana cara memegang pistol yang benar atau tidak. Dari kelihatannya, pria itu juga sama tahunya dengan Kenta. Seseorang terlatih, entah mantan polisi atau tentara, atau bisa juga mantan atlet seperti dirinya. Kenta tak ingin gegabah. Tujuannya adalah menyelamatkan teman-temannya, bukan unjuk gigi saling adu tembak. Apalagi, apa yang bisa ia harapkan dengan senjata bius yang tidak langsung bereaksi itu. Dengan hati-hati, Kenta menurunkan senjata berpeluru bius itu ke lantai kemudian menendangnya ke arah pria itu.
Suara ribut itu tak luput dari pendengaran Bu Jefina. Wanita berkaca mata di ruangan sebelah segera keluar ruangan. Tak dapat dipungkiri, ia terkejut dengan aksi nekat tiga orang di sana yang berhasil membobol asrama. Matanya membulat sempurna ketika melihat tiga orang itu ada di asrama.
"Sedang apa kalian di sini?" tanya wanita itu.
"Membebaskan teman kami dari tempat terkutuk ini," jawab Bima tanpa rasa takut.
"Berlutut di sana!" Anak buah Bu Jefina meminta ketiga orang itu untuk berlutut di ruang utama.
Lengan Theo diseret oleh pria itu. Laki-laki itu tidak berani bertingkah, tidak dengan peluru yang siap menembus kepalanya kapan saja. Sementara Bima membantu Jupiter untuk berdiri. Pergelangan tangan si planet besar itu masih terikat kencang. Tiga laki-laki nekat itu dan juga Jupiter berlutut di depan Bu Jefina.
Setelahnya, wanita berkaca mata itu menghampiri anak buahnya. "Mana pistolnya? Biar ini saya yang urus. Kamu jaga di depan saja."
Pria itu tak segan untuk memberikan senjata api itu pada Bu Jefina. Kemudian, ia pergi menuju teras, mematuhi perintah bosnya itu.
Bu Jefina berjalan mondar-mandir di depan empat laki-laki itu. Tatapan Bu Jefina menusuk keempatnya, wanita itu terlihat geram. "Katakan pada saya, bagaimana caranya supaya kalian menyerah? Sungguh. Saya tidak ingin berurusan dengan kalian!"
Bima berdecih, ia tahu Bu Jefina sudah di ambang batas kesabarannya. "Asal Ibu tahu, kami tidak akan menyerah."
Wanita berkaca mata itu memejamkan mata seraya mengembuskan napas panjang. "Bima. Bima. Bima!"
Si jangkung itu hanya terdiam ketika namanya disebut oleh wanita itu dengan geram.
Wanita yang sedang memakai setelan berwarna krem itu berjalan mendekati putra kandungnya. "Saya sudah berusaha supaya kamu menjauh. Tapi kenapa kamu selalu ikut campur?"
Laki-laki yang ditatap matanya itu tidak menjawab. Ia merasa punya hak untuk ikut campur. Sahabatnya terjebak di sini, belum lagi gadis yang disukainya juga terjebak dalam permainan wanita itu.
Tangan kiri Bu Jefina bergerak untuk menepuk pipi putra kandungnya. Sementara tangan kanannya masih setia memegangi senjata berpeluru itu. "Kenapa sulit sekali membuat kamu menjauh?"
Bima menatap ibu kandungnya itu tanpa rasa takut sedikit pun. "Saya akan menjauh ketika klub ini jatuh."
Perkataan Bima membuat Bu Jefina berdecak sebal. "Ini salah saya. Seharusnya saya sudah mengeliminasi kamu sejak awal. Tapi kenapa kamu begitu cerdas sehingga nilai kamu selalu bagus?"
KAMU SEDANG MEMBACA
AVICENNA CLUB ( END ✔️ )
Novela JuvenilAvicenna Club, klub elite yang ada di SMA Dewantara. Siapa pun yang masuk ke klub itu, sudah dapat dipastikan akan mendapat tiket masuk ke Fakultas Kedokteran di universitas negeri favorit. Namun sayangnya, setiap tahun Avicenna Club hanya akan meng...