[07] William's Secret Mission

271 40 3
                                    

William Neil Vaganez

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


William Neil Vaganez

"He prefer dangerous freedom over peaceful slavery."

More:
https://pin.it/3Zqh2H1

===

Jakarta jam delapan malam tak sepadat layaknya saat sinar surya menyorot isi bumi. Bantuan cahaya malam hari digantikan dengan lampu gedung-gedung apartemen yang ditangkap mata sepanjang jalur, beberapa lampu penerangan jalan di setiap sisi trotoar, serta lampu sen kendaraan yang berlalu-lalang.

"Long time no see, Liam."

Tanpa memedulikan aturan lalu lintas, si pengendara motor memarkirkan kendaraannya di pinggir jalan. As she know. Wanita familier dalam radius dekat menyunggingkan senyum. Lagaknya masih tetap sama; masa bodoh dengan aturan, lirikan dingin yang sukses membuat segan, dan—

"Harus banget di pinggir jalan gini?"

to the point.

Wanita jangkung itu terkekeh melihat dua tangan sibuk menggenggam helm full face dan sebuah map cokelat. "Masuk kafe dulu."

William mengekor ketika wanita di depannya tengah memindai kafe untuk mencari tempat duduk. Fakta bahwa penjaga asrama masih berkeliaran cukup membuat gelisah. Bukan apa-apa, tetapi ia sudah sering keluar masuk tanpa izin yang memicu lukanya tak kunjung pulih. Ada sebuah keharusan yang membuatnya untuk pulang.

"Plester di muka kayaknya udah jadi aksesoris wajib, ya."

Kalimat yang menjadi pembuka percakapan seusai duduk sukses mengalihkan pikirannya. William mengangkat sebelah alis. "Lo udah tahu penyakit gue."

Wanita itu menoleh. Tampak serius. "Gimana operasinya? Lancar?"

"Masih proses, doain aja." William membawa kedua lengannya bertangkup di meja. "Buka map itu."

Jemari Luna meraih benda pipih tanpa sepatah kata. Percuma saja. Bertanya perihal isi dari map tersebut takkan menuntaskan rasa penasaran jika objek yang ditanya adalah William. Tanpa pengecualian. Bahkan kesenjangan umur tidak berarti apa-apa baginya.

Luna membaca sebuah kertas yang menjadi isi dari benda cokelat tersebut. Tulisan awal berisi Aturan dan Perjanjian. Sementara Luna memusatkan pandang menuju manik hitam milik William, si penulis surat buru-buru mengeluarkan kalimat. "Itu aturan yang harus lo patuhi, nggak berlaku buat gue," ujarnya agar tak mengundang salah paham.

"Oke, setuju."

Pada akhirnya, wanita berusia 26 tahun itu mengeluarkan sebuah pena dari saku kiri kemejanya, mengayunkan jari hingga terbentuk suatu tanda tangan yang sempurna.

DEXTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang