[21] Let's STFU-DYING

144 18 10
                                    

"Nilai gue

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Nilai gue... turun."

Jujur saja, ya. Meskipun raut William terlihat lebih 'normal' dibanding keempat temannya, tolong percaya kalau dialah yang paling tidak terima melihat urutan nilai siswa terbawah. Namanya ada di sana! Selain kelima siswa mendapat nilai sama, tetapi karena nama William yang diawali huruf W maka urutannya berada di baris paling akhir.

"Berani-beraninya dia ngasih hukuman pake nurunin nilai segala. Tahu aja kelemahan terbesar kita," sungut Gema yang terlihat paling emosi di antara mereka—kecuali Luna yang pulang duluan karena ada urusan.

Sudah ada beberapa siswa yang nilainya turun karena melanggar aturan, tetapi hanya mentok dapat pengurangan sepuluh poin. Sedangkan mereka, si penguasa peringkat lima besar selama 2 tahun berturut-turut, tak segan untuk dikurangi 15 poin. Dari yang asalnya rata 95 menjadi 80.

"Nilainya mepet banget sama KKM. Ngelanggar aturan sekali lagi, udah tamat lah kita," imbuh si rambut pirang yang masih memakai gaun putih tulang. Gaun itu jadi makin bersinar karena sudah mau menjelang malam.

Terlihat jelas kekecewaan di mata mereka. Yah, nilainya memang tidak selalu sempurna. Kadang-kadang, mereka masih dapat 97.

"Ini nggak adil." Alodya akhirnya berbicara.

"Iya, tapi mau gimana lagi," jawab Khalil sambil mengacak-acak rambut. "Palingan gue bakal digorok sama ortu pas pulang, tapi amit-amit. Gue harus mikirin cara biar nilai kita bisa naik lagi."

"Bukannya bisa, ya, kalo ikutan UAS minggu depan?" Alodya melirik ke arah kiri atas guna mengingat. "Iya, bener. UAS-nya minggu depan."

"Kita ikut UAS aja. Lumayan ada kemungkinan nilai di atas 95," saran Gema.

William terdiam. Setelah beberapa saat, otaknya berhasil mencipta sebuah ide. "Gue setuju kita ikut UAS. Tapi, biar adil, bukan cuma kita aja. Seluruh siswa di sekolah ini harus ikutan."

Jujur saja, mereka hampir lupa kalau minggu lalu William sudah resmi menjabat jadi Ketua OSIS. Kini seluruh siswa berada dalam genggaman tangannya.

Suara jam berdentang. Langit menggelap. Ini sudah tepat pukul enam sore.

Memprediksi petugas keamanan yang sebentar lagi akan bertugas, William mengucap kalimat finalisasi terakhir. Sorot matanya tegas. "Selama masih ada waktu, kita harus bikin nilai semua siswa jadi serendah mungkin."

*
*
*

Benar saja. Hari besoknya, semuanya menggila. Ini masih pagi-pagi sekali. Ayam belum berkokok, padi belum ditanam, jalanan belum padat.

Tahu solusi apa yang dikatakan William tempo hari perihal semua nilai siswa yang harus dibuat serendah mungkin?

"Awas!"

Satu jendela pecah karena dilempari bola basket. Gema selaku biang masalah hanya meringis, orang-orang di sekitar terbelalak, pun dengan suasana sekolah dari pagi sudah menimbulkan kekacauan.

Salah satu orang yang setim basket dengan Gema mulai memperingati. "Gema! Nilai lo bisa dikurangi, anjir!"

"Sengaja." Ia menoleh dengan santai seraya menyugar rambut cokelatnya ke belakang. "Lo belum liat postingan terbaru komunitas sekolah, emang? Itu William yang bikin, lho. Nonton dulu sana."

Ya, benar sekali! Solusinya adalah membuat seluruh siswa melanggar aturan sekolah dengan sengaja hingga nilai mereka turun serendah-rendahnya, dan hari ini merupakan awal mula aksi dilakukan.

"Ini beneran William?" Rasanya ia tak percaya ketika selesai menonton video yang menayangkan William seorang di postingan itu.

Gema memutar balik badan tanpa memedulikan jendela yang telah pecah. "Lo bisa lihat sendiri. Gue mau mencipta kekacauan yang lain dulu. Bye!"

Oke, kita lihat sekitar. Rupanya ayam sudah berkokok, padi sudah ditanam, dan jalanan sudah cukup padat. Di samping itu, kantin, kelas, halaman, semuanya benar-benar... kacau. Ada yang ikut-ikutan saja karena sependapat kalau sistem rataan nilai seluruh siswa memang tidak efektif, ada pula yang hanya ingin menambah kerusuhan karena dirinya merasa bebas. Dan dari banyaknya siswa, tentu terdapat beberapa kontra. Akan tetapi, hal itu sudah diatasi oleh Khalil si mantan Wakil Ketua OSIS.

"Buat tugas fisika, semuanya boleh nyontek ke gue."

Seketika meja Khalil dikerubungi banyak siswa. Meski bingung atas sikap yang asalnya pelit menjadi bermurah hati, tetapi mereka masa bodoh daripada kena omel guru.

"Kasih tahu anak-anak kelas lain juga! Gue bakal nulis jawabannya di papan tulis," sambung Khalil setelah memegang kapur. "Eh, Budi! Lo bisa fotoin tugasnya ke grup angkatan. Santai aja nggak akan gue marahin kali ini."

Seketika semringah tercipta di raut mukanya. Sedangkan Khalil hanya tertawa, kemudian menekan tombol telepon pada seseorang di ponselnya. "Halo, Al. Lo gimana? Gue udah beres, nih."

"Gue?" Telepon tersambung. Di tempat yang berbeda, Alodya melirik pada satu lelaki di sebelah kirinya. William tersenyum.

"Semua murid yang biasanya nongkrong di gedung belakang sekolah udah hadir semua, malah ada beberapa lagi yang ikutan. Kayaknya gue lancar juga, deh, Khal. Tutup dulu, ya. Gue mau main."

Panggilan hanya berlangsung kurang dari semenit. Setelah itu, Alodya kembali fokus ke realitas. Melihat ruangan gelap yang hanya diterangi satu lampu remang-remang di atas papan beralaskan meja luas.

"Siapa yang mau main sama gue?" tawar Alodya. Siapa pun di sana tahu sebesar apa kekuatannya dan selicik apa ketika ia bermain. Memegang tumpukan kartu, gadis itu menyuruh William untuk mengeluarkan beberapa lembar uang tunai merah.

Sontak seisi ruangan matanya bersinar.

"Gue taruhan sejuta."

Sorakan terdengar keras. Alodya tahu sebesar apa konsekuensi kala melangkah menuju gedung ini. Di antara pelanggaran lainnya, permainan inilah yang paling berat. Makanya diadakan sembunyi-sembunyi di tempat yang jarang dijamah orang seperti gedung belakang sekolah.

"Main sama gue."

Itu Satria, mantan Ketua OSIS.

Semua melongo, Alodya pun melongo.

"Oke, gue juga ikutan," putus William.

Seruan terdengar lebih keras. Beberapa dari mereka juga menawarkan untuk ikut hingga tercapai tujuh anggota. Tentu nominalnya jadi makin besar.

"Udah berhasil makan umpan," gumam Alodya.

William yang merasa kalimat tersebut ditujukan padanya, langsung membalas, "Gue penasaran reaksi pihak sekolah pas tahu hal ini."

Keduanya tersenyum. Bukan senyuman tulus, jika dilihat lagi, lebih bermakna mencurigakan. Tatapan mereka buyar ketika peluit berbunyi yang merupakan pertanda permainan sudah dimulai.

Di lain makna, permainan melawan raja terakhir benar-benar sudah dimulai.





DEXTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang