[23] Something with Nothing

158 19 9
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*
*
*

"Program penyamarataan nilai asalnya sebagai bentuk duka—yang sayangnya program ini sama sekali tidak efektif bagi kita. Sekarang, kita di sini menentang sistem dengan menurunkan nilai dan kembali bersaing dalam bentuk melaksanakan ujian akhir semester. Ingat, kita bukannya tidak menghargai niat program ini sebagai bentuk duka. Yang kita lawan adalah sekolah. Sistem buruknya, orang-orang busuk di baliknya. Mari kita bersaing secara sehat untuk satu minggu ke depan. Semoga ujiannya lancar dan dapatkan hasil terbaik!"

Tentu saja pengumuman dari William tidak disiarkan secara langsung lewat speaker sekolah. Kalau begitu, bisa-bisa niat mereka ketahuan oleh guru. Pengumuman ini diketik berangsur-angsur melalui tiap ketua kelas hingga terkirim di grup kelas masing-masing.

Menginjak penghujung tahun, tepatnya bulan Desember, rupanya semester ganjil tinggal menghitung hari lagi. Dan hari ini merupakan hari pertama ujian tulis setelah masa-masa kelam (maksudnya melanggar aturan sekolah), tetapi kondisi sekolah sekarang normal-normal saja. Para guru tidak ambil pusing, sedangkan para murid patuh pada perintah si ketua baru.

Setelah semua angkatan dikumpulkan di aula besar, masing-masing dari mereka membawa kartu peserta dan segera masuk ruang ujian. Urutannya diacak, jadi di tiap ruangan bisa menemukan anggota kelas yang berbeda. Dan entah kebetulan atau apa, William beserta Alodya ditempatkan di ruang yang sama. Bersebelahan.

Sementara para murid lain di ruang itu tentu merasakan kombo maut ketika masuk kelas. Yah, berharap mereka bisa ketularan energi ambisnya. Minimal rasa tinggi hati otomatis berkurang.

Ketika William sedang asyik membaca buku (kebetulan ia duduk di dekat tembok dan ada jendela di atasnya) fokusnya terpecah ketika merasa ada sesuatu yang mendarat di pipi kanan.

Penghapus?

William mengerutkan kening. Tak lama, ia melihat ke meja sebelah.

"Gue gak habis pikir." Iya, Alodya pelakunya. "Lo masih megang bacaan berat gitu di detik-detik mau ujian?"

Fokus William sudah pecah seluruhnya. Buku The Age of Paradox oleh Charles Handy ditutup dan langsung diletakkan di meja.

"Gue cuma butuh refreshing."

Rahang Alodya hampir copot.

Oke, ia bisa memaklumi kalau buku yang dibacanya masih masuk kategori mata pelajaran. Tetapi, laki-laki ini malah baca buku tentang paradoks. Alodya tahu betul paradoks lebih kompleks daripada memecahkan rumus fisika buatan Einstein.

"Genuinely asking, IQ lo berapa, sih?"

William tampak berpikir. "Um... 147? Tapi itu terakhir tes waktu SMP."

Yang artinya, IQ William di masa sekarang pasti sudah bertambah. Benar-benar manusia kelewat genius, Alodya mengakui hal itu. Ah, sudahlah. Ia harus berlatih mengontrol ekspresi jika berbincang dengan lelaki satu ini.

Melihat guru yang hari ini berangkap sekaligus menjadi pengawas masuk ke dalam kelas, William bertanya, "Kalo kelas 12, jam pertama pelajaran apa?"

Alodya memperlihatkan buku paket Fisika yang baru saja ditutup setelah menyadari pengawas datang. "Lo bisa lihat," jawabnya. Aktivitas yang ia lakukan terhenti sejenak. "Eh, habis baca-baca materi, gue jadi kepikiran sesuatu tentang lo."

Penasaran, pandangan William tak lepas dari gadis rambut hitam panjang di sebelahnya. "Apa?"

"Elektron valensi ngengambarin diri lo banget. Suka memisahkan diri, terus ikutan gabung kalau kelopak luarnya belum penuh," jelas Alodya. Ia tampak buru-buru melanjutkan kalimat berikutnya—seperti tak ingin terjadi kesalahpahaman. "Tapi itu lo yang dulu. Kalau sekarang, peran lo sebagai atom. Gue, Khalil, sama temen-temen yang lain adalah elektron. Lo bisa nangkep kan maksud gue, kan?"

Terdengar instruksi mengenai ujian yang akan dimulai sebentar lagi. Setelah kalimat itu usai, Alodya sudah sibuk dengan dirinya sendiri. Begitu pula William. Bedanya, lelaki genius ini masih memikirkan perkataan Alodya yang tadi.

Lo bisa nangkep maksud gue, kan?

Ke mana pun atom pergi, elektron akan selalu mengelilinginya. Atom sebagai pusat, dan elektron sebagai pendamping. Sebuah metafora indah yang berhasil membuka pandangan baru William terhadap ilmu sosial. Tentang manusia. Tentang makhluk hidup di sekelilingnya. Yang mana, menurut dirinya, manusia itu lebih rumit dari paradoks.

"Oke, anak-anak, jam pertama dimulai dari sekarang. Selamat mengerjakan!"

*
*
*

Hari ujian terasa begitu cepat, dan hari ini sudah Jumat. Jadwal belajar bimbel Study Group diadakan sore ini ketika murid peringkat teratas sudah hadir semua di ruang akademi. Ini pertemuan kelima dengan Pak Hendra, yang artinya, mood Alodya meningkat pesat.

Ada dua alasan. Pertama, cara mengajarnya sangat masuk dengan gaya belajar Alodya. Kedua, maaf, ini sulit dijelaskan, tapi entahlah, ada sesuatu dari cara menjelaskan suatu materi yang membuat si pendengar sulit untuk tidak memperhatikan. Seperti hukum gravitasi universal Newton.

Pas sekali, mata pelajaran untuk pertemuan kali ini adalah sejarah.

"Salah satu taktik perang paling menarik bagi saya yaitu membuat sesuatu dengan ketiadaan."

Menampilkan kedua lesung pipi selagi tersenyum, pria 40 tahunan itu menatap empat muridnya satu per satu.

"Alkisah, pada tahun 756, jenderal Linghu Cao berhasil mengepung suatu kota. Chang Shun, sebagai komandan, ia coba menggantung orang-orangan sawah dari atas tembok kota di malam hari. Gunanya buat apa? Mancing musuh. Biar tentara Linghu Cao memanah orang-orangan sawah karena mereka mengira itu adalah pasukan tentara Chang Sun."

Gema mengangkat sebelah tangan. "Pasukan musuh sadarnya berapa lama, Pak? Atau mereka langsung sadar kalau itu cuma orang-orangan sawah?"

"Pasukan musuh awalnya tertipu, tapi lama kelamaan mereka sadar. Bahkan pasukan tentara Linghu Cao sudah mulai bosan sama tipuan ini. Dan pada akhirnya, suatu malam, orang-orangan sawah itu digantikan dengan tentara asli tanpa sepengetahuan musuh. Karena gak bisa diprediksi dan pasukan tentara musuh belum siap untuk berperang, maka peperangan dimenangkan oleh Chang Sun."

Mindblowing. Kelas jadi hening gara-gara memikirkan akhir dari taktik perang tersebut. Entah ketiga orang itu mempunyai pemikiran yang sama, Alodya tetap mau mengeluarkan isi pikirannya. "Bapak, saya mau bertanya."

"Silakan, Alodya."

"Kalau dipikir-pikir, strategi ini kayaknya bisa dipakai juga dalam konteks lain di luar peperangan. Kalau misalnya saya pakai taktik ini pada musuh, apakah ada kemungkinan musuh sudah bisa memprediksi bahwa semuanya palsu?"

"Begini, menurut saya, menguasai strategi ini berarti sudah bisa memahami pola pikir manusia. Kalau menurutmu musuh tidak akan berpikir seperti itu, maka peluang menang jadi bertambah. Balik lagi, ini tergantung kamu dalam menganalisis lawan. Jika di pikiran kamu terlintas kata menang, bahkan hanya sekali saja, saya sarankan untuk tetap mencoba, Alodya."

Oke, dan bagaimana... kalau Alodya menggunakan strategi ini untuk melawan pihak sekolah? Menggunakan pion bawahannya sebagai orang-orangan sawah, dan sampai waktunya tiba, para pion berganti menjadi pasukan yang sebenarnya. Bertarung antara otak dan kekuasaan. Pada akhirnya, siapa yang akan menang?

Memperhatikan ketiga meja berisikan orang di sekitarnya, Alodya jadi semakin tersadar. Ujian tulis tinggal sehari lagi. Peperangan jadi selangkah lebih dekat. Misteri hilangnya sebagian memori, alasan di balik kasus kematian Virgi, dan rahasia sekolah yang masih diselidiki. Semuanya seperti bongkahan puzzle yang menanti untuk disusun secara sempurna.







DEXTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang