[05] Surat Merah Pertama

346 43 14
                                    

Khalil Akbar Saptawirdja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Khalil Akbar Saptawirdja

"He is soft, but in a VERY dangerous way."

More:
https://pin.it/3nECE6w

===

Belajar. Peringkat. Perguruan Tinggi.

Tiga hal yang menyihir pola pikir si pengguna almamater hitam-merah ketika menembus pintu gerbang megah yang berdiri semenjak tahun 1998. Jalanan menuju gerbang didominasi pejalan kaki dari gedung asrama dan hanya terdapat beberapa kendaraan roda empat—termasuk mobil merah di tengah jalan.

Khalil memindai tiap siswa di balik kaca mobil. Berupaya melakukan aktivitas apa pun selain menatap buku paket Fisika di genggaman karena kegelisahan akan kasus kematian yang terus merayap tiap inci otaknya. Tak pernah terbesit sekali pun kalau matanya menangkap tubuh pucat tergeletak tanpa nyawa hingga ia terjebak dalam situasi mengerikan.

"Ada guru di sekolah kamu yang nawarin Ibu buat masukin anaknya ke Study Group. Katanya, bimbel ini khusus murid lima besar di tiap angkatan sekolah kamu." Wanita di sebelah membuka percakapan.

Khalil bergeming. Menanti kalimat yang akan diutarakan Ibunya setelah beberapa detik.

"Ibu bisa daftarin kalau kamu mau. Gimana, Nak?"

"Gak usah, Bu. Pasti bimbelnya bayar, kan? Simpen aja uangnya. Aku bisa belajar sendiri," ujarnya tanpa mengalihkan pandangan dari jendela mobil.

"Soal biaya biar Ibu yang urus. Kamu cuma perlu hadir tiap pertemuan dan usahakan masuk peringkat dua besar di ujian akhir."

"Kalau gagal, gimana?"

Pertanyaan itu keluar seolah mewakilkan beban pikiran selama 3 tahun terakhir. Masuk sekolah, belajar, gabung organisasi demi memenuhi setumpuk ekspektasi tanpa memikirkan konsekuensi, sedangkan peringkat keempat masih ditempati oleh satu nama yang sama.

"Posisi peringkat satu di angkatan kamu kosong. Khalil, kamu yang peringkat empat, sekarang otomatis jadi peringkat tiga. Tinggal satu langkah lagi, Nak. Kamu pasti bisa," timpal Ibu seraya tersenyum, berharap anaknya mengerti.

Khalil menelan ludah dengan paksa. "Aku bakal usahain, Bu."

Tidak ada respon setelahnya. Mobil perlahan berhenti ketika mendekati gerbang sekolah. Tinggal menghitung menit sebelum bel pelajaran pertama berbunyi nyaring, Khalil bersiap untuk keluar sebelum melontarkan beberapa kalimat.

"Terserah Ibu mau daftarin namaku atau enggak. Mulai sekarang, aku bakalan tinggal di asrama, nanti Khalil kasih kabar kalau mau pulang," pamitnya setelah menginjak tanah.

DEXTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang