Tidak ada yang bisa disebut rumah.
Berbaring di sofa sambil menonton televisi di ruang keluarga, makan hasil masakan Mama sembari bercengkerama, pulang pergi sekolah diantar Ayah.
William belum pernah merasakan hal tersebut semenjak si pemberi nama William Neil Vaganez sudah tiada setelah pemilik nama tersebut menghirup oksigen bumi untuk yang pertama kali. Tidak ada jeritan kesakitan sebelumnya, tidak ada suara tangis selepas mengeluarkan kandungan. Sebab tak tahu rasa sakitnya bagaimana, pemilik tubuh yang dipenuhi darah itu menyerah. Meninggalkan satu anak dengan satu-satunya orang tersisa di keluarga yang William harap masih bisa disebut rumah.
Ketika pulang kerja, Ayah selalu berkata, "Kamu harusnya tidak mewarisi penyakit Mama."
Lalu sabuk yang semula melilit pinggangnya kini dilepas, mendekat pada satu-satunya penghuni rumah yang sudah terduduk di lantai.
"Balik badan."
Rupanya Ayah bisa menguasai sihir. Dalam sedetik kemudian, tubuh itu sudah membelakangi dengan sendirinya.
Jika anak lain berteriak, "Ayah, jangan... aku sakit."
Dan William dengan ketidakmampuan tubuhnya untuk merasakan segala bentuk luka hanya bisa membisu. Meringkuk. Respons air matanya seolah terkunci mendengar bising sabuk bergesekan dengan kulitnya tanpa balutan baju dari seorang pria bergelar Ayah yang berhasil mencipta dentuman jantung lebih dominan dari biasanya.
Benda keras yang mendarat berkali-kali di punggung terasa seperti sentuhan. Meski keras, William menerjemahkan pukulan itu sebagai sentuhan kasih sayang. Bahwa Ayahnya peduli. Bahwa perlakuannya selama ini seakan proses guna menghadirkan sel neuron baru dalam tubuhnya supaya merasakan jerih payah sang Ayah selama bagian luar kulit itu diberi sentuhan.
Maka William menengadahkan kepala, tanpa satu pun tetesan air yang dilahirkan kelopak mata, masih dengan ekspresi datar sembari bersuara, "Ayah, terus pukul aku sampai aku bisa teriak kesakitan."
"PUKUL!"
"HAJAR TERUS!"
Sepenggal kilas memori mendadak sirna. Selepas meninggalkan ruang diskusi di lantai tiga kemudian menuruni beberapa anak tangga hingga berpijak di depan pintu kelas, kini langkahnya terpaksa terhenti di lautan kerumunan.
Dua murid laki-laki di tengah kerumunan saling melayangkan tinju. Komentar dari orang yang mengelilingi membuat situasi menjadi tidak kondusif, saling mengompori layaknya tontonan acara realitas tinju di atas ring. Sedang dua lelaki yang menjadi bahan tontonan masih dikuasai amarah meski emosi itu sudah disalurkan melalui pukulan.
"Ngaku aja! Beneran lo yang nyuri, kan?"
Laki-laki berambut cepak menggeram kesal. "Dibilang bukan gue!"
KAMU SEDANG MEMBACA
DEXTER
Gizem / GerilimPernyataan kelima siswa yang dicurigai sebagai pelaku pembunuhan peringkat satu paralel membuat penyelesaian kasus menjadi makin rumit. Pasalnya, dalam pengakuan tersebut diceritakan kalau sebagian ingatan mereka hilang semenjak beberapa minggu sebe...