Atmosfer berbeda, suasana berbeda.
Langit-langit beralaskan semen yang diaspal dan tangga kayu sebagai gerbang antara dunia atas menuju tempat terbawah adalah apa yang dilihat mereka kala petang itu.Rasa penasaran berhasil mengalahi sangsi. Pijakan enam pasang kaki pada tangga kayu berderit, menjerit, sesekali debu yang menempel ikut runtuh, sedikit demi sedikit. Diperingati oleh hal seperti itu tak mempan. Penerangan redup pun, tak dihiraukan. Siapa lagi kalau bukan si enam pasang kaki yang tadi malah berani membuka pintu di bawah kolam pancuran itu.
Dan tiba saatnya bertapak di alas. Beberapa penerangan berupa sinar ponsel yang dinyalakan secara sukarela membuat mereka bisa melihat jelas ruangan petak itu dengan mata telanjang. Tentu saja, semuanya menampakkan ekspresi serupa seakan berhasil menemukan harta karun.
Sakelar dinyalakan. Serentak, kepala mereka terarah otomatis ke arah kiri. Terdapat komputer di atas meja yang sepertinya sengaja dinyalakan dan dua sofa di kanan-kiri beserta satu kursi kayu tua di dekat meja.
Tidak ada yang aneh.
Akan tetapi, setelah langkah demi langkah mendekati layar komputer, mereka sadar.
Tampilan itu... layar dominan hitam itu... sama persis seperti deskripsi situs gelap yang dahulu ramai diperbincangkan siswa Intellegend karena kesulitannya dalam mengakses situs tersebut.
"Gila. Ini beneran dark web," sahut Gema takjub. Ya, bayangkan saja, ada seseorang yang secara sengaja membuka situs gelap ilegal ini dan mereka bisa mengakses secara cuma-cuma.
Tapi tidak dengan Alodya. Saat matanya menelisik isi web, tubuh Alodya lantas mematung, napasnya tercekat disertai sesak yang benar-benar terasa hingga jantung. Ia memegang erat kursi kayu tua yang diduduki Luna guna menekan rasa tremor. Lantas Luna pun ikut menyadari alasan Alodya bersikap seperti itu.
"Ini web ilegal milik sekolah." Kesimpulan Luna mutlak. Para siswa yang berdiri di belakangnya serentak mendekati komputer dan melihat dengan saksama.
"Lebih tepatnya forum jual beli. Bukan barang biasa, tapi ada sangkut pautnya sama sekolah kayak salah satunya yang ini, jual kunci jawaban UAS," lanjutnya seraya menunjuk etalase yang paling laku terjual. "Hal gini memang udah terbiasa di beberapa sekolah, tapi bagi kalian yang murni dapet nilai besar dari hasil belajar, pasti masih asing di telinga kalian."
Sudah terbukti dari raut muka masing-masing. Khalil yang pertama kali bereaksi.
"Jadi nilai UAS kelas 11 di tiap angkatan yang nilainya hampir mendekati kita tuh gara-gara ini...? Karena mereka milih cara instan dengan beli kunci jawaban?"
Kini semuanya terasa masuk akal.
Gema menyela sebab terpikir sesuatu. "Tapi bukannya Arga gagal nyuri kunci jawaban karena udah keburu ketahuan? Terus kunci jawaban ini dapet dari mana?"
"Mungkin itu cuma pengalihan isu," sahut Liz spontan. "Ya, mungkin Arga dijadiin umpan, sedangkan komplotan yang lain lanjutin aksi pencurian karena berita yang kesebar tuh pelakunya udah ketangkep, kan? Jadi mereka tenang-tenang aja."
"Bentar, Liz," sela Alodya. Ia menunjuk dua sofa yang terletak di dua sisi. "Kata lo ada komplotan? Sedangkan di sini ada dua sofa dan ruangan ini emang cocok buat tempat negoisasi."
"Jadi, simpulan lo komplotan itu sengaja mancing kita ke sini buat nunjukin ada web ilegal punya sekolah?" Kini William yang berbicara. "Kita bisa ada di sini kan petunjuk dari penulis surat, mungkin dia yang punya akun dark web dari komputer ini."
Luna menoleh ke belakang, bertanya. "Siapa yang jago ngeretas komputer?"
Salah satu dari mereka ragu-ragu mengangkat tangan. "Mmm, saya bisa," jawabnya, masih bingung dengan arah pembicaraan.
"Oke, kamu yang rambut cokelat," Luna beranjak dan mempersilakan Gema menduduki kursi tua itu, "coba retas akun ini."
"Bisa, sih, Kak. Tapi belum tentu berhasil," gumam Gema ketika bokongnya mendarat sempurna di kursi. Layar komputer itu ia perhatikan lalu mulai menekan tombol keyboard layaknya seorang master.
Suasana makin menegang seiring tulisan berwarna hijau hampir memenuhi layar komputer dengan bahasa yang mereka tak ketahui kecuali Gema seorang. Sesekali bincangan berisi kekhawatiran yang diutarakan oleh Liz kepada Alodya ikut menambah kadar ketakutan dari tiap jantung di ruangan tersebut.
"Kayaknya udah beres," kata Gema setelah meregangkan jari-jari.
"Hah? Kok hitam layarnya?" Khalil bingung sebab perkataan Gema dengan hasil di komputer tidak sesuai.
"Makanya, gue aja bingung," timpalnya memijit pelipis. Ia melirik ke arah kanan. "Jangan nyalahin gue, ya, Kak."
Luna berdehem lalu mendekati komputer. Tepat saat itu pula, sebuah pesan peringatan berwarna merah muncul di layar.
TERIMA KASIH SUDAH MELEWATI TAHAP INI. SILAKAN MENUNGGU VIDEO REKAMAN YANG AKAN DIPUTAR SETELAH 5 DETIK.
Kalimat itu telah mereka baca. Di sinilah Luna dan lima rekan barunya dalam waktu temporer berada dalam genggaman sosok hoodie hitam bertudung—si penulis surat. Sebab, setelah jeda 5 detik, layar merah berganti video dengan seseorang ber-hoodie hitam yang mukanya tak nampak jelas karena ditutupi tudung hoodie.
"Hey," Satu suara yang menghidupkan senyap dikeluarkan dari mulut William. Tatapannya menuju sosok di balik layar komputer.
"Bodoh. Itu rekaman video, bukan siaran langsung," protes Alodya dengan nada datar.
"Tau. Gue cuma tes aja," balasnya tak mau kalah.
Sedangkan sisanya menatap Alodya dan William bergantian. Ini bukan situasi yang wajar. Bagaimana mereka bisa berkata dengan santai ketika satu sosok di layar muncul secara misterius beberapa detik lalu?
"Kalian pasti sudah bisa menebak siapa saya, jadi saya akan langsung bicara intinya saja."
Suara yang diubah menjadi berat seperti sensor pelaku kriminal berhasil mencipta dentuman keras di bagian jantung. William menelan ludah secara paksa, menanti lanjutan kalimat dari balik komputer dengan deru napas tak beraturan.
"Dengan otak yang pintar, kalian pasti punya beberapa ide terkait dark web yang menjual barang ilegal di sekolah termasuk kunci jawaban. Itu sudah saya kasih lihat secara cuma-cuma. Tapi, setiap tindakan pasti ada bayaran. Lakukan pembalasan yang setimpal untuk mereka dengan cara apa pun. Ketahuilah, maupun dark web atau kasus itu, semuanya terhubung."
Masing-masing saling menatap tanpa mengeluarkan kata.
"Oh, ya. Ada balasan pula untuk kalian yang sudah melanggar aturan tertulis di surat pertama. Silakan cek hologram di lobi utama sekolah."
Komputer mendadak mati begitu saja. Gema mencoba menekan tombol power, tetapi tak kunjung menyala. "Sial! Kita ngelanggar aturan apa, sih?"
"Jangan sampai ada yang tahu selain kita," sahut Alodya mengingat salah satu aturan di surat pertama. "Kita emang udah ngelanggar aturan. Harusnya Kak Luna gak tahu soal ini."
Sementara yang lain melirik Luna, wanita berambut pendek itu mengelak. "Saya gak tahu, loh. Kalian sendiri yang ngizinin saya."
Khalil mengangguk. "Iya, ini emang salah kita." Kakinya maju satu langkah. "Ayo cek hologram."
Semuanya mengangguk.
Maap ngespam notif gaes, wpnya eror T-T
KAMU SEDANG MEMBACA
DEXTER
Mystery / ThrillerPernyataan kelima siswa yang dicurigai sebagai pelaku pembunuhan peringkat satu paralel membuat penyelesaian kasus menjadi makin rumit. Pasalnya, dalam pengakuan tersebut diceritakan kalau sebagian ingatan mereka hilang semenjak beberapa minggu sebe...