[19] A Clue: Sarasvati's Symbols

170 24 4
                                    

"Petunjuknya mengarah ke sini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Petunjuknya mengarah ke sini."

Patung Dewi Saraswati. Selain ukiran dua angsa, sang dewi kesucian juga menjadi ikon Intellegend yang melambangkan salah satu motto sekolah; bahwa ilmu pengetahuan suci akan membawa para pelajar dalam kesahajaan. Terletak di sisi halaman dekat gerbang utama, jadi siapa pun semestinya familier dengan ukiran patung putih tersebut.

Khalil mengernyit. "Apa kaitannya sama patung ini?"

Seringai Alodya ditunjukkan tanpa melepas pandang dari ikon Intellegend. "Menarik."

"Menarik? Apanya yang menarik? Gue udah pusing duluan," keluh Khalil tampak lelah.

Sementara itu, ekor matanya menangkap tiga orang yang bergegas menyusul mereka kemari. Satu di antaranya adalah gadis gaun putih dengan corak merah macam darah pada bagian bahu kirinya. Sontak gadis blasteran Belanda itu menjadi sorotan.

"Lo manggil kita?" Kalimat pembuka dari Liz merefleksikan semua orang untuk melebarkan mata. Ia menatap heran pada tiga orang, menelisik satu-satu, kemudian pandangannya terhenti di sudut kiri. "Guru magang olahraga...."

Seperti ada dentuman besar di dada kala memori memutar kejadian bulan lalu perihal pertemuan pertama antara Liz dan Luna di tembok belakang sekolah. Badannya bergidik ngeri seraya geleng-geleng, sedangkan si guru magang tersenyum puas.

Disusul sisa dua orang lagi, Gema serta William, ikut bergabung mengelilingi patung Dewi Saraswati.

"Kenapa di gaun lo ada darah?" Alodya bertanya heran.

"Oh, ini," jawab Liz sambil menunjukkan bagian yang terkena noda pewarna makanan. "Gue habis pentas teater terus lihat notif Khalil di grup chat buat nyusul ke sini."

"Tanpa ganti baju dulu?" balas gadis berjepit ungu itu sembari berdecak. Liz hanya meringis.

"Ada apa, nih? Kok makin banyak orang?" Luna mencermati kehadiran lima siswa tersebut. Pikirannya langsung menuju pada urutan peringkat paralel yang ia lihat bulan lalu.

Nampak seolah puluhan tanda tanya yang tergambar pada raut masing-masing, Alodya memilih buka suara untuk meluruskan kejadian. Semua memasang telinga saat mimik tenang milik Alodya menjelaskan tiap rentetan kejadian beberapa jam lalu hingga sampai di titik pertemuan kali ini.

"Dan guru magang itu yang nulis novelnya? Gue bahkan gak percaya kalo ini disebut kebetulan," sangkal Gema jujur.

Suasana hening seketika terasa menusuk. Liz berganti posisi di sebelah Gema, membicarakan tentang ia dan guru magang itu, yakni pertemuan di belakang sekolah.

"Bukannya gak sopan atau gimana, tapi Kak Luna tiba-tiba datang ke gue dan nanya tentang kejadian itu." Ia menekan kata terakhir seolah ingin memberi tahu secara tersirat. Dan, ya, mereka paham makna di baliknya.

Semua orang menatap ke sudut yang sama. Alih-alih merasa terpojok, Luna maju untuk melangkah lebih dekat. "Ah, saya belum perkenalan secara resmi, ya. Wajar karena selama ini saya selalu kasih tugas catatan dan belum pernah praktek di lapangan. Oke, anak-anak, perkenalkan saya Bethari Luna, guru magang mata pelajaran olahraga dari bulan lalu. Kalian bisa panggil saya Kak Luna soalnya saya masih muda."

DEXTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang