[25] Someone is Missing

238 18 6
                                        

Sekitar 3 jam dari disampaikannya berita penculikan William hingga tragedi kembalinya sebagian ingatan peraih peringkat top lima paralel di lobi utama tadi, tiap tubuh akhirnya mencapai kesadaran

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sekitar 3 jam dari disampaikannya berita penculikan William hingga tragedi kembalinya sebagian ingatan peraih peringkat top lima paralel di lobi utama tadi, tiap tubuh akhirnya mencapai kesadaran. Mereka memang sempat terbangun di ruang yang sama, saling berbaring bersebelahan, tetapi dipenuhi keheningan selagi satu per satu kembali ke kamar asrama masing-masing.

Terkecuali Alodya dan Khalil yang pada dasarnya tak ada masalah karena telah menjalin hubungan pertemanan kurang lebih 6 tahun. Kini keduanya berada di kamar asrama Alodya.

"Ternyata dulu kita sempet mau bantu Virgi," ujar Khalil yang baru tersadar dari lamunannya sejak beberapa menit lalu.

Alodya menjatuhkan badannya di kasur sambil melihat ke langit-langit kamar. "Enggak, bukan sempet lagi. Tapi kita emang udah bantu Virgi," sangkalnya.

Sampai detik ini, Alodya masih terjebak di pikiran. Entah itu perihal solusi menyelamatkan William, misi untuk memerangi pihak sekolah, atau bahkan serangan berupa kilas balik yang mendadak terputar di otak. Karena kejadian itulah ingatan mereka kembali. Memang belum kembali utuh sepenuhnya, tetapi apakah semuanya terasa masuk akal untuk disebut kebetulan?

Badan Alodya diarahkan ke samping, melirik Khalil yang tengah duduk di kursi belajar. "Sekarang kita harus bantu William dulu. Ini yang terpenting. Gue gak mau kejadian yang dulu keulang lagi."

"Iya, gue ngerti. Tapi Gema sama Liz juga masih butuh waktu. Kalo sekarang banget kayaknya emosi mereka masih belum stabil," jelas Khalil pelan-pelan.

Alodya bangkit, menatap tak percaya. "Ini masalah nyawa, loh, Khal? Lo udah nggak inget apa yang terjadi sama Virgi waktu kita telat ngelacak lokasi penculikannya? Dia meninggal!" Vokal Alodya meninggi.

"Paling enggak, kita rencanain dulu ke depannya mau gimana. Kasus Virgi juga belum ada kejelasan. Bukannya biasanya lo dulu suka gitu?" Khalil terlihat bingung.

Alodya merasakan amarah dan khawatir menyatu. "Fuck off, Khal! Gue tahu ini gegabah, tapi at least masih ada kesempatan buat nyelametin nyawa orang, kan? Biarin gue jadi egois buat kali ini aja...." Suaranya melemah. Genangan air mulai berkumpul di kelopak mata, tetapi ditahan. Tak seharusnya ia begini.

"Maaf. Bukan maksud gue buat— ah!" Khalil berdiri, menggaruk rambutnya yang tidak gatal, refleks menghampiri Alodya di pinggir kasur yang sedang membuang muka.

"Pokoknya gue minta maaf, ya?" pintanya walau tidak saling tatap. "Ayo cari William. Mau gimana juga, William masih temen gue."

"Gue nggak marah sama lo. Lo bener, mungkin emosi gue juga masih belum stabil," jelasnya meluruskan masalah. Ia menepuk ruang di sebelahnya yang masih kosong. "Duduk."

"Enggak, Al. Gue beneran minta maaf sama lo karena udah bikin lo sakit hati. Udahan dong nangisnya," pinta cowok itu. Jari kelingkingnya diangkat, mengajak untuk berdamai.

Ditepis jari itu oleh Alodya kuat-kuat. Ia segera mengusap matanya. "Dih, gue enggak nangis, kok. Tadi cuma nguap aja," elak Alodya.

"Iya, iya," balasnya tertawa kecil. "Mau panggil Gema sama Liz sekarang?"

DEXTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang