Pernyataan kelima siswa yang dicurigai sebagai pelaku pembunuhan peringkat satu paralel membuat penyelesaian kasus menjadi makin rumit. Pasalnya, mereka mengaku kehilangan ingatan pada saat kasus berlangsung.
Kelimanya bersepakat untuk menuntaskan k...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Kalo semisal kita temenan gimana?"
Kedua alis Gema bertaut. "Kerasukan apa lo sampe ngomong begitu?"
Langkah mereka terhenti di pintu auditorium, sementara siswa lain berjalan keluar mengikuti arus. Virgi, yang di tangannya terdapat piala beserta medali di lehernya, menatap lamat-lamat pada Gema yang hanya mendapat medali sebagai peraih peringkat tiga.
"Ya, bayangin aja, Gem. Jiwa kompetitif dan gak mau kalah yang bikin kita jadi begini. Gimana jadinya kalo gue mundur dari posisi ketua kelas sama ketua basket. Lo masih nganggep gue sebagai musuh?" tanya Virgi.
Wajah Gema berpaling ke arahnya, mendadak serius.
Mengabaikan reaksi lawan bicara, Virgi melanjutkan kalimatnya. Tenang. Seolah pertanyaan itu bukan apa-apa baginya. "Terus... soal posisi ranking satu. Anggep aja gue turun, dah. Lo tinggal kalahin aja tuh Alodya."
Mendengar itu, Gema tertawa sarkastik seraya memejamkan mata. "Bego. Gue gak tahu mau ngadepin lo pake gaya apa lagi." Gema masih tak percaya manusia se-genius ini melontar kata-kata bodoh. "Gimana, ya? Kalo lo nyerah gitu aja, nanti hidup gue bakal flat. Gak seru, gak bakal ada tantangannya."
"Bukannya itu semua yang lo mau?" tanya Virgi bingung.
"Ya, emang. Tapi lo gak mikirin diri sendiri gitu? Gimana jadinya reputasi lo sebagai siswa teladan yang dapet peringkat satu paralel berturut-turut. Emangnya lo rela?"
"Gue ngomong apa di awal tadi? Misalnya. Cuma perumpamaan. Gitu aja gak inget," gerutu Virgi.
Gema berdecak. "Segitunya lo pengen dapet temen? Temenan sama musuh lagi." Bukan, kali ini bukan tertawa sarkastik. Ini murni respons alamiah dari Gema. Senyum lebar, kerutan di mata, alis yang terangkat. Ditambah, Gema tiba-tiba merangkul pundak Virgi dan memanggil salah satu siswa di dekat pintu yang memegang kamera analog.
"Hei! Fotoin kita, dong!"
Virgi balas tertawa. "Nih, pialanya lo yang pegang."
Gema nyengir. Kini piala milik si peringkat satu sudah berada di tangannya. "Lo janji jangan ngalah, ya. Gue masih nganggep lo saingan."
Virgi tertawa kecil. "Aman, bro."
"Oke. Lihat ke kamera!"
Tubuh Gema terlonjak bangun. Napasnya memburu. Sekujur tubuh panas, juga dibasahi keringat.
"Welcome back to reality," sambut Khalil sembari menyodorkan segelas teh hangat.