"Kamu yang namanya Alodya?"
Jujur. Mungkin ini helaan napas malas keseratus kalinya semenjak si pemilik nama mendaratkan bokong tak nyaman di sofa panjang. Jenis profesi bernamakan polisi senantiasa ia hindari tanpa sangsi. Bahkan semasa hidupnya, hampir tidak pernah ia berbuat hal yang termasuk ke dalam pelanggaran UU. Namun sial bercampur malang, namanya tercantum sebagai salah satu tersangka kasus pembunuhan hanya karena-
"Berdasarkan pernyataan dari para saksi, kamu terlalu berambisi mengalahkan korban dalam hal akademik. Apakah benar?"
"-aku terlalu ambisius?" Tanpa sadar, suara Alodya naik satu oktaf. Siswa lain yang dinyatakan tersangka kompak terpaku dalam netra gadis berjepit bintang ungu. "Ayolah, Pak. Bukannya wajar sebagai sesama siswa berlomba buat raih nilai tertinggi? Sebenarnya kalian nilai kami dari apanya, sih?"
"Meski tidak ditemukan bukti, ada kesamaan di antara kalian yang mengarah pada kasus ini," balas salah satu polisi.
"Tunggu, bukannya polisi harus mengumpulkan bukti dan menyelidiki secara hati-hati sebelum nuduh saya sebagai tersangka? Buat apa ada prinsip-prinsip hukum tentang asumsi bersalah dan tidak bersalah kalau orang yang bekerja di bidang hukum saja seolah buta sama peraturan itu."
Meskipun bola mata Alodya melirik malas ke sembarang tempat, ekor matanya menangkap raut wajah dua sosok polisi berkromosom XY yang sepertinya tampak memikirkan sesuatu. Kemudian salah satu dari mereka menyahut, "Berdasarkan hasil wawancara dua bulan lalu, kami bisa menyimpulkan ada kesamaan di antara kalian seperti persaingan akademik, masalah pribadi, jejak digital, maupun saksi mata."
"Dilihat dari cara membunuh dan bagaimana si pelaku ngebongkar isi kepala korban, pihak polisi percaya hal itu dilakukan oleh siswa?" kelakar Alodya tak habis pikir.
"Kita belum tahu kebenarannya seperti apa."
"Kami juga berduka, Pak. Dia gak pantas dibunuh dengan cara seperti itu!"
"Alodya, tenang. Yang dipanggil bukan hanya kamu."
"Gak ada sidik jari." Khalil, siswa berkulit sawo matang dengan atribut OSIS yang duduk di sebelah Alodya mulai mengeluarkan suara. "Gak ada senjata, atau petunjuk apa pun yang sekiranya bisa dijadiin bukti. Kalian masukin saya sebagai salah satu dari daftar tersangka hanya karena saya yang pertama kali nemu jasad korban di reruntuhan bangunan belakang sekolah. Kalian berasumsi kalau bisa jadi saya yang sengaja naruh jasad di sana, dan pura-pura nemu mayatnya?"
"Tidak ada CCTV, kami hanya mengandalkan kesaksian dari siswa. Jadi, Khalil, kamu bisa menjamin kalau kesaksian kamu barusan dikatakan dengan jujur?"
Suasana di ruang konseling hening sebentar hingga Khalil membuka kembali suaranya. "Benar, Pak. Saya dan Alodya sudah bersaksi sejujur-jujurnya tanpa ada rekaan." Netra hitam keduanya bersatu, lalu mengangguk kecil.
"Baik. Khalil dan Alodya, terima kasih sudah menjawab. Berarti rambut pirang ini Reliza, ya?"
Gadis berparas anggun yang duduk di sofa tunggal mengangguk. Namun jika diperhatikan, tersirat rasa gundah di balik keindahan matanya.
"Reliza, bisa ceritakan kembali konflik yang terjadi dengan korban?" tanya polisi bertubuh kekar.
"Aku sama Virgi pacaran dari awal MOS," ungkapnya berusaha tegar. Hampir separuh gugup, tentu saja. "Hubungan kami bisa dibilang sehat, hampir gak ada konflik karena Virgi yang kukenal itu orangnya penyabar banget. Tapi, entah kenapa akhir-akhir ini sikap dia jadi sentimental. Konflik yang terjadi antara kami juga kebanyakan besar berawal dari dia. Aku masih maklumin di awal, tapi lama kelamaan rasa jenuh sama kesal juga pasti ada batasnya. Hubungan kami berakhir seminggu sebelum Virgi dinyatakan hilang."

KAMU SEDANG MEMBACA
DEXTER
Mystery / ThrillerPernyataan kelima siswa yang dicurigai sebagai pelaku pembunuhan peringkat satu paralel membuat penyelesaian kasus menjadi makin rumit. Pasalnya, mereka mengaku kehilangan ingatan pada saat kasus berlangsung. Kelimanya bersepakat untuk menuntaskan k...