[12] Boy on Fire

306 41 13
                                        

"Saya membawa pelakunya, Pak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Saya membawa pelakunya, Pak."

Arga tidak bisa untuk tidak melebarkan kelopak mata. Kalimat pembuka yang diutarakan Ketua OSIS di ruang kepala sekolah langsung mengarah pada suatu topik berdasarkan kejadian malam tadi.

Deni langsung memusat pandang pada lelaki yang masih mempertahankan ekspresi terkejut. "Benar dia pelakunya?"

Mata kedua siswa berbalut almamater yang tengah berdiri itu saling bertabrakan. Selang 5 detik, Satria memutus pandang, kemudian menaik-turunkan kepala. "Benar, Pak."

Untuk beberapa saat, waktu seperti berhenti berputar. Sekelilingnya seolah tak bergerak selain otak yang masih dalam proses mencerna bagaimana jalan pikiran Satria hingga ia memutuskan untuk menyerahkan salah satu rekannya ke hadapan manusia pemegang posisi tertinggi di sekolah. Satria, Arga, dan anggota organisasi rahasia. Hanya mereka yang tahu kebenaran di balik kejadian itu.

"Sat? Kok lo gini?"

Dan Satria melanggar peraturan organisasi.

"Jawab jujur. Apa orang ini adalah kamu?" Deni mengarahkan laptop yang memperlihatkan rekaman kamera pengawas pukul sembilan malam.

"Bapak tidak bisa menyimpulkan pelaku berdasarkan video tersebut." Arga mengambil jeda dengan tarikan disertai embusan napas. "Hanya karena saya selalu pakai hoodie hitam, bukan berarti saya yang melakukan aksi."

"Jangan mengelak, Arga. Di jam yang sama, kamu tidak ditemukan di asrama. Ke mana kamu malam itu?"

Arga kehabisan dalih. Di titik ini, dirinya mulai merasa bahwa sepertinya gelar pertemanan antara dia dan Satria takkan berlangsung lama—bahkan bisa berakhir di detik ini. Organisasi rahasia menjadi terpecah belah semenjak kehilangan posisi pemimpin. Ada anggota yang merasa hilang arah, dan ada pula anggota yang memanfaatkan situasi ini menjadi lebih parah.

Iris hitam legam yang tajam milik Satria tidak membawa pengaruh apa-apa bagi tubuhnya. Jantung masih berdetak dengan kecepatan normal, emosi masih terbendung dan tidak akan ia biarkan meluap; sebagaimana mengarahkan anak panah dengan lurus, kemudian meleset karena objek menghindar ke arah yang tepat.

"Satria, kamu yang membawa Arga. Ada alasan yang bisa memperkuat kalau orang di rekaman ini adalah Arga?"

Masih menyembunyikan kedua tangan di balik punggung, bibirnya membentuk garis melengkung sebelum mempersiapkan kalimat panjang. "Pertama, Arga itu satu-satunya siswa yang dekat dengan Virgi. Kehilangan Virgi ngebuat dia jadi dendam dan mau membalas dengan cara membakar kelas 12 IPA 1 tempat Virgi belajar, kemudian memasang banner yang berisi kalimat kebencian terhadap sekolah."

Arga masih memperhatikan dengan air muka datar.

"Alasan kedua, kebetulan kami bisa dianggap dekat jadi saya bisa tahu rencana yang akan Arga jalankan malam itu. Anda benar, Pak. Arga tidak ada di asrama karena dia ada di area sekolah untuk melancarkan aksi," tutur Satria lancar tanpa terbata. "Kurang lebih seperti itu, Pak. Mungkin perkataan saya barusan bisa memperkuat status Arga menjadi tersangka."

DEXTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang