Mengabaikan ucapan Kanna adalah hal yang sepele bagi Gama. Bahkan Gama sama sekali tidak memikirkan tentang hal itu. Baginya, jalan dengan Karra lebih penting ketibang mendengarkan ucapan Kanna yang mengancam akan keluar dari tim olimpiade kalau Gama tetap memilih jalan bareng Karra.
Dalam pikiran Gama, ucapan Kanna hanyalah ancaman biasa. Seperti angin lewat yang tidak ada apa apanya. Padahal Kanna sedang tidak main main dengan ucapannya itu. Kanna Alasa sungguh akan keluar dari olimpiade.
Kanna mengepalkan tangannya ketika melihat Gama dan Karra sudah berada diatas motor berdua. Dari balik jendela Kanna menahan rasa kesalnya. Kanna segera menutup gorden, tidak ingin berlama lama mengamati keduanya Kanna pun memilih pergi. Ternyata memang benar, Gama sama sekali tidak menganggap keberadaan Kanna. Bahkan saat Kanna bersuara pun Gama tidak mendengarnya.
Kanna masuk kedalam kamarnya.
"Sampai kapan mau gini terus?" Karin langsung menyerang Kanna ketika cewek itu masuk ke dalam kamar. "Selama saya gak ada dirumah kerjaan kamu ngapain? Kamar sampai berantakan gini? Kerjaan kamu ngapain Kanna? Main doang iya?" Karin terus terusan menyerang Kanna.
Kanna pun hanya menerima omelan Karin dengan wajah datar. Kanna terlalu lelah untuk melindungi dirinya. Sehingga Kanna membiarkan Karin terus menyerang sendirian.
"Kamu itu saya ajarkan untuk jadi perempuan mandiri. Biar kamu gak tergantungan sama orang lain. Susah, ya, ngajarin kamu, gak pernah ngerti," Karin memarahi Kanna.
Kanna menatap seisi kamarnya. Memang berantakan, itu karena Kanna belum sempat membereskan kamarnya. Tapi haruskah Karin semarah itu hanya karena Kanna belum sempat membersihkan kamarnya sendiri?
"Abis ini Kanna beresin, Mah," ujar Kanna.
"Kemarin kemarin kemana aja baru mau beresin sekarang? Jadi anak gak ada mandiri mandirinya sama sekali!" sebut Karin.
Menyakiti hati Kanna memang semudah itu. Hanya berteriak padanya saja Kanna sudah tersakiti. Cewek itu terlihat kuat. Namun tak ada yang tau, hatinya selembut kapas.
"Harus semandiri apa lagi Mah?" tanya Karin lancang.
"Setiap hari Kanna ngelakuin apa apa sendiri. Memangnya ada sekali aja Mama bantu Kanna? Gak ada Mah. Mama cuma bisa ngatur Kanna buat ngelakuin ini itu sendiri. Sedangkan Karra? Semuanya Mama yang urus," Kanna mengelurkan unek uneknya, "kalo kaya gitu, namanya bukan ngajarin Kanna buat mandiri. Tapi memang Mama yang gak mau ngurusin Kanna."
Sesak. Hatinya sangat sakit ketika mengingat kenyatakan bahwa Karin tidak pernah mengurusnya lagi setelah kematian ayahnya.
"Kanna capek, Mah. Mama pikir Kanna selama ini ngapain aja? Kanna ngelakuin apapun sendiri. Mama gak pernah mau urusin Kanna. Jangankan buat urus Kanna, buat ngomong sama Kanna aja gak pernah mau," mulut Kanna gemetar. Takut dan sedih bercampur aduk.
Dalam kondisi seperti ini Kanna tetap memikirkan kewajibannya sebagai anak. Kanna tidak boleh menyakiti hati Mamanya. Padahal Karin saja tidak pernah memikirkan kewajibannya sebagai seorang ibu.
"Kalo udah kaya gini Mama bisa ngomong apa? Cuma diem, 'kan?" Kanna sudah hapal.
Ketika Kanna mengeluarkan keluhannya. Ketika Kanna menyuarakan isi hatinya, Karin hanya akan diam. Diam yang tidak pernah bisa Kanna artinya. Diamnya Karin apakah karena dia merasa bersalah, atau dia memang tidak peduli. Kanna tidak pernah tau itu.
Karin menatap Kanna tajam. Sulit dipercaya, tapi perkataan Kanna membuat hatinya merasa ada yang mengganjal.
"Apapun yang saya lakukan. Itu semua demi kebaikan kamu, Kanna." Karin menekan, namun Kanna menggeleng.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHY NOT ME?
Teen FictionKanna Alaska. Di asingkan oleh keluarganya sendiri. Ibunya, Karin, mengabaikan Kanna seolah Kanna tak ada dalam hidupnya. Kanna punya kembaran, dimana kembarannya diperlakukan sangat baik oleh sang ibu namun dirinya tak pernah menerima perilakuan b...