Karin menangis sesegukan. Menangisi putri pertamanya yang pergi dari rumah. Kanna belum pulang dari tadi. Ini sudah jam 12 malam. Kanna belum juga pulang. Hal itu membuat Karin sangat khawatir.
Penyesalan terbesar Karin adalah ketika dia tidak bisa memeluk Kanna ketika Kanna sedang menangis dan mengeluarkan unek uneknya. Karin selama ini menahan tangis ketika Kanna mengeluh capek, ketika Kanna menangis, ketika Kanna membicarakan apa yang sedang dia rasa.
"Cari Kanna Kar. Bawa Kanna pulang kerumah ini lagi," tangis Karin semakin pecah.
"Mah, Karra udah telfon kak Kanna berkali kali tapi nomornya gak bisa dihubungi. Karra juga udah cari Kak Kanna kemana mana tapi tetep gak ketemu," Karra sudah berkeliling mencari Kanna dengan supir pribadi Karin. Tapi nihil, Kanna tidak dapat ditemukan.
"Mama salah, ya, Kar? Mama cuma pengen Kanna terbiasa tanpa Mama. Ketika Mama pergi nanti Kanna harus udah siap dan bisa ngelakuin apa aja tanpa Mama," Karin terisak lagi. Kedua tangannya mengepal kuat, marah pada diri sendiri yang tidak bisa membuat putrinya bahagia.
"Mama jangan ngomong kaya gitu. Mama gak akan ninggalin Kak Kanna. Kita gak akan ninggalin Kak Kanna," Karra meyakinkan Karin. Memeluk Karin erat, berharap Karin bisa lebih tenang.
"Kanker Kar. Kanker itu penyakit yang sulit untuk dilawan. Kita berobat kesana kesini bukan buat sembuh. Tapi buat mengulur waktu supaya gak mati cepet," Karin memejamkan mata, lelah, semua terlalu menyakitkan.
Benar. Karin dan Karra sama sama mengidap penyakit Kanker. Penyakit yang dulu juga merenggut nyawa suami Karin dan Ayah Karra. Kini penyakit itu juga ingin merenggut keduanya.
Ingatan tentang beberapa bulan setelah kepergian suaminya seolah berputar kembali dikepala Karin.
"Jadi, saya sakit apa, Dok?" tanya Karin pada Dokter.
"Ibu mengidap penyakit kanker darah stadium awal berjenis leukimia." jawab Dokter itu membuat Karin lemas. "Untuk saat ini memang tidak separah itu efeknya pada tubuh Ibu. Namun, untuk kedepannya saya belum bisa memastikan."
Seketika Karin merasa dunianya telah hancur pada saat itu. Harapannya untuk bisa hidup lebih lama telah lenyap. Harapannya ingin melihat kedua putrinya menikah hilang begitu saja. Penyakit ini, penyakit yang merenggut segala harapan yang ada dihidup Karin.
"Gak mungkin Dok. Dokter pasti salah diagnosa, jadi kita lakukan pemeriksaan ulang ya Dok," Karin panik. Dia juga belum bisa menerima kenyataan.
"Dok saya gak mungkin sakit kanker Dok," Karin nangis kejer. "Leukimia...gak mungkin," Karin menangis hebat. Tidak terima jika ini adalah kenyataannya.
"Bahkan penyakit kanker yang menyerang Ibu adalah kanker yang sama seperti yang diderita Karra," jelas Dokter itu. Dokter yang memang sudah menangani penyakit Karra selama 1 tahun.
Ya. Penyakit itu bisa menyerang siapa aja. Termasuk Karin dan Karra.
"Kanker yang diderita Ibu dan Karra masih sangat lemah. Beruntung sel darah putih abnormal yang ada dalam tubuh masih belum menyebar luas. Tapi seperti yang saya bilang. Untuk kedepannya kita tidak ada yang tau apakah Kanker tersebut akan menyebar atau malah hilang," ujar Dokter itu lagi.
"Namun, kemungkinan sangat kecil untuk kanker itu menghilang dari penderita. Kecuali keajaiban berpihak pada Ibu dan Karra. Namun Saya akan berusaha yang terbaik untuk membantu Ibu dan Karra melawan kanker tersebut."
Sejak saat itu Karin mulai mendidik Kanna dengan keras. Kanna harus mandiri. Kanna harus terbiasa tanpa nKarin. Tanpa bantuan Karin. Bahkan tanpa perhatian dari Karin.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHY NOT ME?
Ficção AdolescenteKanna Alaska. Di asingkan oleh keluarganya sendiri. Ibunya, Karin, mengabaikan Kanna seolah Kanna tak ada dalam hidupnya. Kanna punya kembaran, dimana kembarannya diperlakukan sangat baik oleh sang ibu namun dirinya tak pernah menerima perilakuan b...