Aira kembali ke depan gerbang, duduk di sebuah bangku panjang yang memang disediakan untuk siswa yang menunggu jemputan. Tangisnya sudah berhenti sejak ia sadar tidak seharusnya ia menangisi hal yang bukan haknya.
Aira tahu, harusnya ia menurut saja. Menunggu Dimas sampai jam 3 bukan hal yang buruk jika dibanding harus melihat Arsen mengacuhkannya dan pergi bersama cewek lain.
Aira juga tahu, harusnya ia lebih mempertimbangkan tawaran Zia untuk pulang bersama. Setidaknya Aira tidak akan menangis di sekolah seperti tadi, memalukan.
Tapi Aira lebih tahu, harusnya ia tak perlu menemui Arsen. Harusnya ia diam saja, menunggu abangnya datang sambil bertukar pesan dengan Ardan mungkin akan lebih baik. Entah kenapa, rasanya sakit saat melihat Arsen pergi melewatinya tanpa menoleh. Sakit saat menyadari Arsen mungkin sudah menemukan prioritasnya.
Aira menghela napasnya, setidaknya ia juga tahu kalau semua ini sudah terlanjur terjadi dan tidak bisa lagi diperbaiki. Tapi Aira tetap berharap semuanya bisa diulang, agar ia tak perlu bertemu Arsen dan memberikan hatinya secara cuma cuma pada laki laki itu.
"Meong." Seekor kucing berbulu oranye tiba tiba mengeong, menyundul nyundul betis Aira dengan kepalanya.
Aira terkekeh, membelai lembut punggung kucing tersebut. Suara dengkur halus terdengar, Aira akhirnya gemas dan menggendongnya. Kucing itu tampak nyaman saat Aira meletakkannya dipangkuan, si kucing memilih posisi nyaman dengan kedua kaki depannya yang dilipat ke dalam.
Sambil mengelus punggung kucing yang entah datang dari mana itu, Aira bicara. "Kamu udah ada yang punya belum sih? Ikut pulang sama aku mau?"
Tentu si kucing tak menjawab.
"Aku panggil kamu siapa ya, um... Maung aja gimana?" Aira terkekeh sendiri dengan ucapannya. "Ya udah, kalo kamu ketemu aku, aku bakal panggil kamu Maung, oke?"
Maung mengeong pelan, merasa nyaman dengan Aira yang terus mengelus kepala hingga punggungnya.
"Maung," panggil Aira pelan, pandangannya kosong ke arah sepatu hitamnya, "kamu pernah jatuh cinta gak?"
"Jatuh cinta itu ternyata rumit ya. Bahkan buat jatuh cinta pun, kita harus tau dulu dengan siapa kita jatuh cinta. Dengan dia, atau dengan sahabatnya." Aira tersenyum miring, mengejek dirinya sendiri yang tampak bodoh.
Maung mengubah posisinya, Aira kira kucing itu akan pergi karena bosan mendengar ceritanya, tapi ternyata Maung justru duduk dan menjilat jilati kaki depannya lalu mengusapkan ke wajah. Kucing itu tampaknya sedang mandi.
Sambil menunggu Maung mandi, Aira meletakkan kedua tangannya di kursi, menatap langit biru yang ditemani awan putih.
"Aku kira, aku beneran suka sama Arsen. Beneran jatuh cinta. Tapi waktu Ardan dateng, rasanya beda. Justru aku nyaman sama Ardan, nyaman sama sikapnya, sama perlakuannya, bahkan sama caranya ngomong pun aku nyaman. Aku deket sama Ardan, kami sering curhat. Aku sih yang lebih sering curhat ke dia, dan Ardan cuma dengerin sambil sesekali kasi saran. Waktu itu aku pernah curhat ke Ardan soal perasaanku sama Arsen, tapi aku pake nama samaran. Aku nyebut Arsen itu Cowok 1 sedangkan Ardan Cowok 2, karena dia yang kedua dateng ke hidupku."
Aira mengalihkan pandangannya dari langit, menatap Maung yang kini menjilati perutnya.
"Aku bilang gini ke Ardan, 'aku suka Cowok 1, dia dingin kalo diliat dari luar, tapi aku ngerasa spesial karena bisa liat sisi hangat dia dibeberapa kesempatan. Kalo Cowok 2, lebih ganteng, lebih manis, dan emang lebih hangat juga. Aku suka mereka berdua, tapi aku yakin ada satu yang bener bener bikin aku jatuh cinta', kataku waktu itu."
"Ardan jawab, 'kamu nyaman sama Cowok 1? Yakin suka? Bukan cuma penasaran aja?'. Aku gak tau. Aku sendiri bingung. Yang jelas, aku suka dia. Siapa coba yang gak baper diperlakuin beda dari cewek lain, ya kan, Maung?"
"Terus aku bilang gini ke Ardan, 'gak tau. Tapi... Cowok 1 yang pertama dateng ke hidupku dan bikin aku ngerasa suka sama dia. Menurutmu, kalo mereka berdua nembak aku, aku harus pilih siapa?' Sebenernya aku tau, antara Arsen sama Ardan dua duanya gak suka aku waktu itu, tapi gak ada salahnya berandai, ya kan, Maung?"
"Eong." Untuk pertama kalinya Maung menjawab, tapi Aira tentu tidak paham.
"Jawaban Ardan waktu itu bikin aku mikir banget, dia bilang gini, 'Ra, cinta itu bukan tentang siapa yang datang lebih dulu, tapi siapa yang bisa bertahan sampai akhir.' Aku gak tau apa artinya, tapi kedengeran keren, haha. Aku lumayan setuju sama kata kata Ardan waktu itu, tapi--" kalimat Aira terpotong.
"Ra!" Sebuah mobil berhenti di depan Aira, itu Dimas. "Disuruh nunggu malah curhat sama kucing, sini pulang!"
Aira nyengir, dan seolah paham, Maung melompat dari pangkuan Aira dan berjalan menjauh.
"Dadah Maung!" Aira melambai lalu masuk ke dalam mobil.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hurt [END]
Teen FictionArdan Oliver jatuh cinta pada Aira, si bungsu kesayangan mama dan papa. Namun alih-alih setia kepada Ardan sepenuh hati, Aira masih saja terpana oleh teman sekelasnya, Ari. Kurangnya rasa bersyukur membuat Aira kehilangan keseimbangan akan dunianya...