46. Memilih Setia

21 14 0
                                    

Aira baru saja merebahkan diri di ranjangnya, membalut tubuh dengan selimut tebal. Ponselnya sengaja ia matikan untuk menghindari tekanan batin yang ia dapat bila menerima pesan lain dari Ari.

"Sekarang, yang perlu gue lakuin cuma istirahat." Katanya pada diri sendiri.

Namun niatnya tak dapat terlaksana sebab pintu kamarnya tiba tiba terbuka lagi. Menampakkan sosok Dimas yang berdiri di sana.

"Astaga, Bang. Gue tau gue ngangenin, tapi yang bener aja. Baru 15 menit yang lalu gue meluk lo eret banget, mau ngapain lagi?"

"Ge-er lu. Gue ke sini gara gara ada tamu yang nyariin lo. Disuruh masuk ga mau, katanya cuma mau ngomong bentar."

"Hah? Siapa?" Aira turun dari ranjangnya.

"Gak tau, belum kenalan." Dimas mengedikkan bahu lantas berlalu meninggalkan kamar adiknya.

Aira mengintip dari jendela besar di kamarnya. Tubuhnya mendadak kaku bagai patung batu, degup jantungnya tak normal melihat cowok jangkung yang berdiri memunggungi penglihatannya.

Ngapain dia berdiri di halaman rumah gue malem malem gini? Kalimat itu hanya dapat terucap dalam hati sebab bibirnya tak dapat digerakkan, seolah terkunci.

Setelah dua menit diam, Aira berhasil menetralkan emosinya. "Oke. Tenang, Ra, lo bisa kok."

Aira mengangguk, memantapkan langkahnya untuk menemui Ari yang tiba tiba saja sudah ada di halaman rumahnya.

***

"Ari," Aira memanggil pelan.

Ari berbalik, ia baru menyadari kehadiran Aira. Senyumnya mengembang melihat gadis yang beberapa hari terakhir seolah menghindarinya. "Lama bener, dingin nih gue nunggunya."

Aira tak tahu harus menjawab apa selain tersenyum canggung sebagai respon.

"Gue ke sini cuma buat..." Ari menggaruk tengkuknya. "Buat apa ya."

Ari berjalan mendekat, Aira hanya diam.

"Gue cuma kangen sama lo. Maaf kalo gue ada salah." Ari mencoba meraih tangan Aira, namun Aira menjauhkan tangannya.

Kening Ari berkerut, seketika memutar otak, mencari cari kesalahan apa yang sudah ia perbuat hingga Aira menjauhinya. Namun, ia tak menemukan apapun. Kendati demikian, Ari tetap meminta maaf. "Ra, maafin gue."

"Ar, lo gak salah." Jangan lagi! Jangan! Jangan nangis depan Ari, goblok!

"Kalo gue emang gak salah, terus kenapa lo kayak gini?" Ari menatap Aira sendu.

Tatapan itu melemahkan Aira, membuatnya cepat cepat berpaling. Aira tahu ia tak ingin melakukan ini, tapi Aira juga tahu kalau ia harus melakukannya. Demi Ardan yang tak lelah berjuang, demi Ari yang tak pantas jadi miliknya.

"Ra--"

"Ar, gue mau jujur." Aira memotong.

Ari sedikit terkejut, namun mengangguk. "Iya, silakan."

"Ar, gue mau terus terang."

Aira dan Ari sama sama menahan napas, gugup dan sedikit takut akan apa yang selanjutnya terjadi.

"Ar, gue mau terus terang aja." Aira mengulang kalimat pertama. "Sorry, gue gak bisa mutusin Ardan."

Pada titik ini, Ari merasa dunia berhenti berputar untuknya. Cukup, Ari tidak ingin mendengar apa apa lagi. Ia tahu apa yang akan selanjutnya terjadi dan ia tak mau mendengar itu dari Aira. Tapi tubuhnya tak dapat digerakkan, mematung di hadapan Aira yang masih melanjutkan kalimatnya.

"Maaf kalo gue ngasi lo harapan. Beberapa hari ini gue jauhin lo karena gue gak tau gimana jelasinnya, tapi sekarang gue mau jujur, kita... temenan aja ya."

Kita temenan aja ya.

Kita temenan aja ya.

Kita temenan aja ya.

Udara seolah direnggut habis dari bumi bagi keduanya. Kalimat itu terus terngiang di kepala Ari bagai kaset rusak. Napas mereka semakin tercekat, terutama Aira yang masih belum selesai dengan kalimat panjangnya.

"Gue gak mau ngasi lo harapan lebih." Suara Aira mulai bergetar, ia menahan tangisnya sekuat tenaga. "Maaf kalo gue udah bikin lo baper, tapi gue ga bisa terus kaya gini. Kalo kita lanjutin kaya sebelumnya juga ga baik, jadinya gue kaya selingkuh dari kalian berdua. Kalo boleh jujur, gue emang beneran sayang sama lo. Gue beneran ada niat mutusin Ardan demi lo. Cuma... gue gak bisa. Orangtua gue, orangtua Ardan, mereka udah tau hubungan gue. Ga segampang itu buat putus dari dia."

"Ar, lo boleh ngejar cewek lain. Jangan tunggu gue, jangan harapin gue yang gak pasti ini." Aira mati matian menahan air matanya. "Seandainya aja gue masih sendiri, gue pasti milih lo, Ar. Tapi kan gue... masih ada Ardan. Jangan marah sama gue ya, jangan... jauhin gue. Tetep... jadi temen gue ya?"

Aira bisa menarik napas dalam dalam setelah menyelesaikan kata katanya, begitu pula dengan Ari. Tapi masih belum ada kelegaan di antara mereka.

"Aira, gue--"

"Gue sayang sama lo, maafin gue." Aira memeluk Ari tanpa aba aba, membuat kalimat cowok itu terpotong.

Setengah menit dalam keheningan hingga Aira memutuskan melepas pelukannya dan berlari menjauh, bersembunyi di balik pintu rumahnya dengan air mata yang mulai berjatuhan.

"Maaf. Maaf. Maaf." Hanya itu kata yang Aira bisikkan dalam keheningan.

Di luar sana, Ari mendekati pintu putih itu. Menyentuhnya perlahan.

"Gue tau lo masih di sini, Ra." Ari menyandarkan kepalanya pada pintu. "Gue juga sayang sama lo. Makasi buat kejujuran lo malem ini."

Aira tak kuasa menjawab, hanya air mata yang terus luruh bersama sunyinya malam.

Ari pun memutuskan pergi, angin malam mengantar langkahnya menuju motor scoopy abu abu yang kemudian ia tunggangi dan pacu membelah jalanan dengan kecepatan penuh.

Di tempatnya, Aira merosot. Dalam hati bertanya tanya, sudah tepatkah keputusannya untuk memilih setia?

***

Hurt [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang