36. Pengakuan Sederhana

31 21 2
                                    

Keluarga Oliver ternyata tak semengerikan dugaan Aira. Mereka justru tak kalah asik dari keluarganya sendiri. Dari pagi sampai siang Aira menikmati kunjungannya.

Diana mengajarkannya memasak, Nenek dan Darren lebih banyak mengajaknya bercerita tentang kelakuan konyol Ardan saat kecil. Sementara Ardan justru lebih banyak manyun karena merasa keluarganya lebih memperhatikan Aira ketimbang dirinya.

"Ini yang anak kandung papa sebenernya Aira apa Ardan sih?" Sungutnya pagi itu.

Siangnya, Ardan memutuskan mengajak Aira jalan jalan.

Dan di sinilah mereka sekarang, Taman Kota. Dengan tangan memegang cone es krim masing masing. Hari ini menyenangkan, itulah yang Aira pikirkan.

Setidaknya, sampai Ardan memulai topik itu.

"Ra," panggil Ardan lembut.

"Ya?" Aira menoleh.

"Boleh tanya?"

"Udah tuh." Aira cengengesan.

Ardan menghela napasnya, "Aku mau tanya deh."

Aira mengangguk, "Apa?"

"Kamu... lagi suka sama siapa?"

Deg.

Aira benci dirinya sendiri. Ngapain gue nanya gitu sih tadiiiiii!

"Bilang aja, Ra. Gapapa kok." Ardan tersenyum.

Gapapa? Apanya yang tidak apa apa? Ni orang gila kah?!

Ardan terkekeh melihat ekspresi tak santai Aira. "Bukannya dulu aku pernah bilang?"

"Kalo kamu suka orang selain aku, bilang aja. Lebih baik kamu jujur daripada bohongin aku." Kalimat itu terucap dari bibir mereka berdua bersamaan.

Ardan terkekeh, mengusap rambut hitam milik Aira. "Pinteeer."

Aira tidak berkomentar, melahap es krimnya.

Ardan menjilati es krimnya pelan pelan. "Ga bakal kenapa napa kalo kamu jujur sekarang, Ra. Justru kalo kamu simpen malah bisa aja terjadi hal hal buruk. Ya kan?"

Aira mengangguk lemah. Ardan benar soal itu.

Sedangkan Ardan terlihat tabah. Aira heran melihatnya. Tidak tahu saja ia kalau Ardan mengetahui salah satu rahasia besarnya--perasaannya pada Arsen.

"Kamu lagi suka siapa, hm?"

Aira menjilati es krimnya sembari merogoh ponsel. Ardan menunggu sambil makan es krim miliknya sendiri.

Ponsel itu hanya teronggok bisu di genggaman Aira, tak Aira apa apakan. Pandangannya pun lurus ke depan, dengan bibir yang sesekali menikmati manisnya es krim.

"Jujur, aku bingung jelasinnya gimana." Aira menatap ponselnya.

"Kalian chatan?" Tanya Ardan. "Boleh aku liat?"

Aira refleks menggenggam ponselnya lebih erat, Ardan melihatnya. Itu berarti, tidak.

Ardan menghela napasnya. Es krimnya sudah habis, kini sebelah tangannya merangkul bahu Aira, menariknya ke dalam dekapan.

"Bingung banget ya?"

Aira mengangguk polos. "Hm m."

Ardan diam lagi. Sibuk menerka nerka siapa orang yang dimaksud Aira. Apakah Aira akan mengakui perasaannya tentang Arsen? Bagi Ardan itu masuk akal karena sudah lama sejak mereka pacaran, Aira memendam rasa itu.

Tapi, entah kenapa sesuatu dalam diri Ardan bilang ini semua bukan tentang Arsen. Itu sebabnya emosinya tiba tiba melunjak saat di mobil tadi.

Aira masih diam, setia menikmati es krimnya. Ardan juga hanya menunggu. Lama mereka sama sama membisu, hingga angin meniup lembut rambut mereka berdua. Dekapan Ardan dapat Aira rasakan semakin menghangat, semakin erat.

"Maafin aku," Aira tiba tiba menjatuhkan tubuhnya dalam pelukan Ardan.

Es krimnya juga sudah habis, kini kedua tangannya sempurna melingkar di pinggang kekasihnya. Ardan sedikit terkejut, namun kemudian bersikap sebaik yang ia bisa. Tangannya mengusap bagian belakang kepala Aira dengan lembut, bibirnya pelan berbisik.

"Sssst, gapapa. Aku maafin kamu kok."

Aira mendengus, Ardan-nya selalu saja begitu. "Aku belum bilang apa salahku, Ardan."

"Suka sama cowok lain kan?" Ardan menjawab enteng.

"Hm... iya." Aira menenggelamkan wajahnya di dada Ardan.

"Aku gak pernah ngelarang kamu buat sekedar suka sama orang kan, Ra?" Ardan berusaha menenangkan.

Yang ditenangkan justru semakin tidak tenang. Apanya yang sekedar suka?

Aira menghela napasnya, setidaknya ia harus menuruti kata kata Dimas saat ini. Memilih salah satu dari Ari dan Ardan. Caranya? Biar Ardan yang memutuskan.

Gue gak tau harus milih siapa, tapi kalo terus dipaksa milih salah satu, biar Ardan yang pilihin itu buat gue. Aira memantapkan dalam hati.

Kini, ia akan memulai sebuah pengakuan sederhana yang bisa saja menentukan bagaimana hidupnya di masa depan.

***

Hurt [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang