30. Rahasia Kita Berdua

42 33 1
                                    

Setiap hari pasti ada saja hal hal yang terjadi antara Dimas dan Aira. Misalnya saling siram menggunakan air keran di halaman belakang, atau mengacaukan ruang keluarga dengan saling melempar bantal.

Tapi siang ini, Dimas merasa rumah amat sepi karena Aira yang sedang sakit. Boleh dikatakan kalau Dimas... mungkin merindukan kebisingan Aira.

"Mau ke mana, Ma?" Tanya Dimas saat Lusi melewatinya yang sedang duduk menonton tv.

"Mama mau bangunin Aira buat makan siang sekalian minum obat." Jawab Lusi lembut.

"Biar Dimas aja, Ma." Dimas bangkit mendekati Lusi dan mengambil alih nampan yang dibawanya. "Mama kerjain apa kek gitu, Aira biar Dimas yang urus."

Lusi tersenyum lembut, "Ya udah. Pastiin Aira minum obatnya abis makan ya."

"Siap, Ma."

Dimas berbalik menuju tangga untuk menghampiri Aira yang tentunya masih tidur di kamarnya. Jika sedang sakit, Aira benar benar menurut untuk istirahat. Dia bisa tidur seharian jika tidak dibangunkan.

Lalu, di mana Ardan? Cowok setengah bule itu sudah pulang tadi saat mamanya menelepon, minta dijemput di rumah teman karena papanya sedang ada urusan. Alhasil Ardan pamit tanpa sempat menyuapi Aira makan siang.

Tok tok tok.

"Ra," Dimas mengetuk pintu kamar adiknya perlahan.

Merasa tidak mendapat jawaban, tangan kanannya memutar knop pintu dan membukanya pelan pelan. Mata Dimas menangkap sosok Aira yang tidur nyenyak dibalut selimut abu abu tebal di atas ranjang. Senyumnya terlukis tanpa sadar.

Dimas berjalan masuk, meletakkan nampan berisi sepiring nasi dan semangkuk sup buatan Lusi beserta segelas air di atas nakas, kemudian duduk di samping Aira yang masih terlelap. Tangannya bergerak menyentuh kening Aira, suhu tubuhnya masih hangat meski tak sepanas kemarin.

Bisa dilihat bulir bulir keringat yang menghiasi kening serta leher gadis berwajah bulat itu, rambut hitamnya serta merta lepek karena keringatnya. Diam diam Dimas menerka nerka, apa yang sebenarnya Aira pikirkan hingga jatuh sakit begini?

"Ra, bangun. Makan dulu." Dimas menggoyang pelan tubuh Aira.

Aira tak bergerak, menimbulkan rasa curiga pada diri Dimas.

"Ini mati suri apa pingsan nih?" Gumamnya sendiri.

"Aira, bangun woy." Dimas menepuk nepuk pipi adiknya.

"Woy, iler anoa. Bangun!" Dimas menggoyang goyang tubuh Aira lebih kencang.

Karena sebal tidak mendapat respon, Dimas naik ke atas ranjang dan melompat lompat di sana seperti kera.

"Bangun! Bangun! Bangun! Aira bangun!!!"

"Bang Dimas," Aira membuka matanya perlahan, memanggil Dimas dengan suara amat pelan.

"Bangoooon!!! Aira dekil kek kecoa bangooon!!!" Dimas tak mendengar panggilan Aira karena sibuk berseru heboh.

"Bang," Aira mencoba duduk, namun amat sulit karena gerakan Dimas yang melompat membuatnya ikut seperti dilempar.

"Aiiiraa banguun, oo Aiira banguunn. Kalo tidak baaangun disaantet dukuuun!"

"Bang! Woy!" Aira melempari abangnya dengan bantal. "Kepala gue masih pusing bego!"

"Eh," Dimas tersadar, ia kemudian melompat turun dari ranjang dan nyengir kuda menghadap Aira. "Hehe, maap yak. Abisnya lu susah banget dibangunin, tidur lo udah kek orang mati."

"Enak banget ngomongnya." Aira meringis, memegangi kepala.

"Dah nih, makan sono." Dimas menyodorkan piring berisi nasi yang dihadiahi tatapan datar oleh Aira.

"Canda, dek." Dimas terkekeh. Ia mulai menyendok sup lantas mencampurnya dengan sedikit nasi.

"Ardan mana, Bang?" Tanya Aira.

"Udah pulang, dia titip salam buat lo. Katanya mamanya nelpon jadi gak sempet nunggu lo bangun." Dimas menyuapkan nasi pada Aira.

Aira mengangguk pelan dan membuka mulutnya, menerima suapan dari Dimas.

"Lo lagi ada masalah ya?" Tanya Dimas membuka topik.

Aira menggeleng pelan, sibuk mengunyah.

"Jangan bohongin gue, dek." Dimas menatap Aira serius.

Aira mendengus. Jika Dimas sudah mengubah panggilannya seperti itu, artinya ia tidak bercanda. Aira selalu suka saat abangnya memperlakukannya seperti itu, terasa menyenangkan dan manis. Tapi Aira terlalu gengsi untuk meminta Dimas bersikap seperti itu setiap hari.

"Jawab woy, malah bengong." Dimas menyentil dahi Aira, membuatnya meringis. "Berantem sama siapa? Willa?"

Aira menggeleng pelan, "Gak sama siapa siapa."

"Ra," Dimas menatapnya tajam.

Aira menghela napas, tidak ada gunanya berbohong. "Cuma masalah perasaan doang, Bang."

Dimas menganggukan kepalanya beberapa kali. "Mau cerita?"

Aira mengangguk.

"Makan dulu, nanti ceritain yang lo mau." Dimas menyodorkan suapan lainnya.

Aira mengangguk lagi. Sepertinya ia memang harus bercerita pada Dimas untuk sedikit meringankan bebannya. Ia mungkin juga akan bercerita pada Willa, tapi tidak sekarang.

Aira mengangkat kepalanya, menatap Dimas. "Gue cerita, tapi janji ya, Bang, ini bakal jadi rahasia kita berdua."

***

Hurt [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang