5. Selalu Ada

70 51 6
                                    

Sabtu pagi, pukul tujuh.

Aira menguap lebar, ia baru saja terbangun dari tidurnya yang terasa amat singkat. Merasa masih sangat malas meninggalkan ranjang empuknya yang nyaman, ia memilih kembali menarik selimut hingga menutupi kepala. Toh ini hari libur, masih terlalu pagi untuk bangun.

Kemarin rasanya Aira sangat lelah, ia tidak berniat tidur, ingin mengabari Ardan lebih dulu. Tapi tenaganya seolah habis untuk menangis, Aira hanya ingat sedang rebahan sebelum kesadarannya melayang dan ia terbangun pagi ini.

Aira benar benar lupa kalau kemarin ia berjanji untuk mengabari Ardan sebelum mematikan telepon siang itu. Dan sebagai seorang pacar yang memang bucin, tentu saja Ardan khawatir. Maka pagi ini, laki laki itu sudah berdiri di depan pintu rumah Aira.

Ragu ragu tangannya memegang knop pintu, lalu mendorongnya pelan pelan. Saat pintu terbuka, pemandangan pertama yang nampak adalah ruang tamu luas dipenuhi dekorasi dengan paduan warna putih dan abu abu. Tidak ada siapa siapa di sana.

Ardan masuk lalu menutup pintu, mengikuti aroma masakan yang tercium harum di hidung. Lusi, mama Aira, pastilah sedang menyiapkan sarapan. Ardan sudah sering ke sini, tapi tidak pernah sepagi ini.

"Pagi, Tante." Ardan menyapa.

Lusi yang sedang sibuk menata piring di meja menoleh, "Eh, ada calon mantu. Tumben pagi banget?"

Ardan nyengir, mendekat selangkah. "Aira ada, Tan?"

"Ada tuh, di kamarnya." Lusi menjawab tanpa meninggalkan pekerjaannya. "Kamu ke sana aja, sekalian bangunin, suruh sarapan. Kamu ikut sarapan di sini aja ya."

Ardan tersenyum saat Lusi menoleh padanya di akhir kalimat. Ia mengangguk, "Iya, Tante."

Menuruti Lusi, Ardan melangkah menaiki tangga menuju lantai dua, tempat kamar Aira berada. Pintu kamar dan ruangan lain berwarna putih, hanya pintu kamar Aira yang di cat biru. Ardan tidak mengetuk, ia langsung memutar knop pintu dan mendorongnya perlahan.

Tampaklah kondisi kamar yang remang karena tirai putih yang masih menutupi jendela di seberang kaki ranjang. Ardan menghela napas pelan, tersenyum simpul dan berjalan menuju jendela. Ia menggeser tirainya, membiarkan sinar mentari masuk dengan leluasa.

Aira menggeliat di dalam selimut, meringkuk. Tentu Aira tidak punya ide kalau sang pacar ada di kamarnya, ia pikir yang datang adalah Lusi.

Ardan mendekati ranjang Aira, perlahan ikut merebahkan diri di sebelah gadisnya.

Aira yang masih terpejam di dalam selimut mengernyit, bingung. "Lah, kenapa Mama jadi ikut rebahan? Hmmmmm, mencurigakan."

Aira menurunkan sedikit selimut, membuat bagian atas kepalanya menyembul. Matanya membelalak melihat Ardan yang sudah tidur menyamping menghadapnya.

"Ardan?" Kaget Aira, suaranya masih serak, khas bangun tidur.

Ardan nyengir, "Pagi, pacar."

Aira mengerjap, masih setengah sadar. "Kamu... ngapain di sini?"

Ardan mengubah ekspresinya menjadi sok sedih, wajah imut itu selalu membuat Aira ingin menggigitnya.

"Masa liat pacar sendiri ga boleh?"

"Ya... boleh sih," Aira menurunkan selimut hingga keseluruhan kepalanya terlihat, "Tapi kamu ngapain masuk kamar cewek pagi pagi ginii?!!"

Ardan refleks menarik tubuh Aira agar gadis itu berhenti berteriak histeris, dekapan Ardan rupanya sukses membungkam Aira.

"Diem, anjir. Berisik banget ni pacar."

Aira sungguhan diam, dekapan Ardan membuatnya bisu pun lumpuh. Dengan jelas Aira bisa merasakan dekapan tangan Ardan di punggung dan belakang kepalanya, wangi tubuh Ardan menyusup ke hidungnya. Ini terasa seperti pertama kalinya.

Ardan sudah sering memeluk Aira, tapi di atas kasur?

"Lepas, anjir!" Aira mendorong tubuh Ardan pelan begitu sadar akan posisinya. Wajahnya memerah, malu.

Aira tidak marah, toh tidak ada ruginya. Siapa pula yang tidak mau dipeluk cowok seganteng Ardan, setidaknya begitu bagi Aira.

"Hahahaha! Blushing!" Ardan menunjuk nunjuk wajah Aira dengan jarinya.

"Diem, bego!" Aira menutupi wajahnya dengan selimut lagi.

"Uluh uluh, tayang ayang. Sini, peluk lagi sini." Ardan menarik tubuh Aira lagi, sambil menahan tawa yang hendak meledak lagi.

"Mamaaaa!!" Pekik Aira tak kira kira.

"Anjir!" Ardan langsung melompat turun. "Kejam kamu, Ra."

Aira nyengir, "Makanya jangan keterlaluan."

"Keterlaluan tapi seneng kan." Ardan menaik turunkan alisnya.

Aira mendengus, memutuskan mendudukkan diri.

Kehadiran Ardan sedikit tidaknya mampu membuat Aira melupakan kepedihan tentang Arsen. Aira mengusap wajahnya, semoga saja Ardan tidak menyadari matanya yang sembab akibat menangis hingga ketiduran semalam.

"Tante nyuruh ke bawah, Ra. Sarapan."

Aira mengangguk, turun dari ranjangnya. "Ayok."

"Gak mandi dulu gitu?" Ardan mengangkat alisnya.

"Ngapain mandi, buang buang air." Aira melengos, mendahului langkah Ardan.

Ardan diam mematung, "Ra! Kamu masih bau jigong loh! Cuci muka kek!"

"Males!" Balas Aira yang sudah berlari kecil menuruni tangga.

Ia tertawa pelan, puas membuat Ardan kesal. Aira senang Ardan ada bersamanya, Aira bahagia memiliki Ardan yang selalu ada.

Lantas, mengapa masih saja terselip Arsen di hatinya? Aira tidak tahu.

***

Hurt [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang